Seperti Tarian Burung Camar

Thursday, November 13, 2008

Tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat. Mereka dikangeni karena berjiwa -- personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta penuh vitalitas. Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok.
Tulisan yang baik adalah hasil ramuan ketrampilan (reporter) menggali bahan penting di lapangan dan kemampuan (redaktur) menuliskannya secara hidup.

TUJUH ELEMEN
Apapun subyeknya, setiap karya jurnalistik yang bagus memiliki setidaknya tujuh unsur.
1.Informasi
Adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ''Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,'' kata Ernest Hemingway. Untuk bisa menulis prosa yang efektif, penulis pertama-tama harus mengumpulkan kepingan informasi serta detil konkret yang spesifik dan akurat -- bukan kecanggihan retorika atau pernik-pernik bahasa.
2.Signifikansi
Tulisan yang baik memiliki dampak pada pembaca. Dia mengingatkan pembaca pada sesuatu yang mengancam kehidupan mereka, kesehatan, kemakmuran maupun kesadaran mereka akan nilai-nilai. Dia memberikan informasi yang ingin dan penting diketahui pembaca. Serta meletakkan informasi itu dalam sebuah perspektif yang berdimensi: mengisahkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
3.Fokus
Tulisan yang sukses biasanya justru pendek, terbatasi secara tegas dan sangat fokus. ''Less is more,'' lagi-lagi kata Hemingway. Umumnya tulisan yang baik hanya mengatakan satu hal. Mereka mengisahkan seorang serdadu atau seorang korban, bukan pertempuran. Memperbincangkan sebuah person, sebuah kehidupan, bukan sebuah kelompok sosio-ekonomi.
''Don't write about Man, write about a man,'' kata Elwyn Brooks White, seorang humoris Amerika.
4.Konteks
Tulisan yang efektif mampu meletakkan informasi pada perspektif yang tepat sehingga pembaca tahu dari mana kisah berawal dan kemana mengalir, seberapa jauh dampaknya dan seberapa tipikal. Penulis yang tak terlalu piawai akan menyajikan konteks dalam sebuah kapsul besar secara sekaligus, sehingga sulit dicerna. Penulis yang lebih lihai menggelombangkan konteks ke seluruh cerita.

5.Wajah
Manusia suka membaca tulisan tentang manusia lainnya. Jurnalisme menyajikan gagasan dan peristiwa -- trend sosial, penemuan ilmiah, opini hukum, perkembangan ekonomi, krisis internasional, tragedi kemanusiaan -- dengan memperkenalkan pembaca kepada orang-orang yang menciptakan gagasan dan menggerakkan peristiwa. Atau dengan menghadirkan orang-orang yang terpengaruh oleh gagasan dan peristiwa itu.
Tulisan akan efektif jika penulisnya mampu mengambil jarak dan membiarkan pembacanya bertemu, berkenalan serta mendengar sendiri gagasan/informasi/perasaan dari manusia-manusia di dalamnya.
''Don't say the old lady screamed -- bring her on and let her scream,'' kata Mark Twain, jurnalis dan novelis pengarang The Adventure of Tom Sawyer.
6.Bentuk
Tulisan yang efektif memiliki sebuah bentuk yang mengandung dan --sekaligus -- mengungkapkan cerita. Umumnya berbentuk narasi. Dan sebuah narasi bakal sukses jika memiliki semua informasi yang dibutuhkan pembacanya dan jika ceritanya bisa diungkapkan dalam pola kronologis aksi-reaksi. Penulis harus kreatif untuk menyusun sebuah bentuk yang memungkinkan pembacanya memiliki kesan komplet yang memuaskan, perasaan bahwa segala yang ada dalam tulisan mengalir ke arah konklusi yang tak terhindarkan.
7.Suara
Kita tak boleh lupa, bahkan dalam abad komunikasi massa seperti sekarang kegiatan membaca tetap saja bersifat pribadi: seorang penulis bertutur kepada seorang pembaca. Tulisan akan mudah diingat jika mampu menciptakan ilusi bahwa seorang penulis tengah bertutur kepada pembacanya. Majalah/koran yang baik tak ubahnya seperti pendongeng yang memukau. Dan penulis yang baik mampu menghadirkan warna suara yang konsisten ke seluruh cerita, tapi menganekaragamkan volume dan ritme untuk memberi tekanan pada makna.
Secara ringkas, tulisan yang baik mengandung informasi menarik dan berjiwa. Menarik karena penting, terfokus dan berdimensi. Serta berjiwa, karena berwajah, berbentuk dan bersuara.


TULISAN YANG BURUK: TUJUH KEGAGALAN
  • Gagal menekankan segala yang penting -- seringkali karena gagal meyakinkan bahwa kita memahami informasi yang kita tulis.
  • Gagal menghadirkan fakta-fakta yang mendukung.
  • Gagal memerangi kejemuan pembaca. Terlalu banyak klise, hal-hal yang umum. Tak ada informasi spesifik yang dibutuhkan pembaca.
  • Gagal mengorganisasikan tulisan secara baik -- organisasi kalimat maupun keseluruhan cerita.
  • Gagal mempraktekkan tata bahasa secara baik; salah membubuhkan tanda baca dan salah menuliskan ejaan.
  • Gagal menulis secara balans, sebuah dosa yang biasanya merupakan akibat ketidakpercayaan kepada pembaca, atau keengganan untuk membiarkan fakta-fakta yang ada mengalirkan cerita sendiri tanpa restu dari persepsi penulis tentang arah cerita yang benar. Dengan kata lain: menggurui pembaca, elitis.
Semua kegagalan itu bermuara pada kegagalan untuk mengkaitkan diri dengan pembaca. Banyak tulisan akan lebih baik -- dan banyak tulisan yang dianggap sulit akan menjadi lebih mudah -- jika kita ingat bahwa kita tidak sedang menulis sebuah novel besar. Kita hanya mencoba menyalurkan sesuatu kepada mereka yang telah membeli koran kita.

Menulis untuk Pembaca

1.Datanglah dengan "sesuatu" sebelum menulis sebuah berita. Jika Anda tak bisa menuliskan
"sesuatu" itu, Anda tidak punya gagasan, apalagi berita.

2.Tulislah sedemikian sehingga mudah dimengerti, dengan Bahasa Indonesia yang sederhana. Kata-kata sederhana lebih digdaya. Hindari kata-kata asing, ilmiah, atau jargon.
Jangan katakan: "Prosedur alternatif untuk merealisasikan objektif ini harus dipetakan".
Tulislah: "Kita memerlukan cara baru untuk melakukannya."

3. Tulisan yang mudah dibaca lebih sulit membuatnya. Jika bisa, buatlah kata-kata Anda bernyanyi dan menari. Jika tidak bisa, cukup membuatnya jadi jelas. Katakan pada diri-sendiri setiap hari: Anda tak perlu memberi kesan menguasai bahasa yang indah serta mendayu-dayu.

4. Gambarkan, bukan katakan. Tulislah sehingga pembaca akan mengatakan: "Saya merasa seperti benar-benar melihat apa yang Anda tulis". Visualisasikan setiap adegan, tunjukkan pada mereka apa saja yang nampak dalam mata pikiran Anda. Penuhi kalimat dengan orang, tempat dan benda-benda, serta dengan detil yang cukup, tapi tidak terlampau banyak. (Jika perlu: tampilkan dalam bentuk foto).

5. Hindari memakai eufemisme dan kata-kata yang dipromosikan oleh kelompok kepentingan tertentu, termasuk pemerintah dan kalangan militer. "Diamankan" dalam banyak hal adalah "ditahan"; "harga yang disesuaikan" hampir selalu adalah "harga naik"; dan "Gerakan Pengacau Keamanan" adalah besar kemungkinan "pejuang hak-hak sipil"). Juga hindari kata seperti ini: kata "insan" dalam "insan pers" dan "insan film" (cukup: "wartawan" atau "artis").

6. Jika Anda tak mampu menemukan cacat pada tulisan Anda sendiri, Anda bukan penulis. Sediakan waktu untuk menyunting sendiri apa yang telah ditulis. Sisi mudah dalam menulis adalah bahwa Anda tak perlu sempurna sejak awal -- tidak seperti misalnya jika Anda dokter yang sedang melakukan bedah otak. Bahkan penulis kondang percaya bahwa tulisan yang baik adalah hasil penulisan ulang (re-writing).

7. Berita yang baik tidak memerlukan dekorasi. Hapus kata "amat" atau "sekali" setiap menemuinya. Hapus sebanyak mungkin kata sifat seperti "cantik" atau "hebat" atau "piawai" ketika melaporkan sebuah peristiwa. Anda bisa menulis tanpa mereka jika Anda punya kata kerja yang kuat.

8. "Less is more," kata Ernest Hemingway. Jangan menulis dengan kata-kata panjang jika dengan yang pendek sudah cukup. Gunakan kata kerja aktif. Jangan ubah kata kerja menjadi kata benda yang buruk.

9. Tergila-gilalah pada akurasi. Jangan buat ketololan seperti salah menuliskan nama seseorang. Pembaca akan mengatakan: "Jika Anda ceroboh dengan hal-hal kecil, bagaimana kami bisa percaya Anda dengan hal-hal yang penting?" Maka teliti dan teliti ulang fakta Anda. Jika ragu, tinggalkan mereka.

10. Jika Anda tidak bisa memperlakukan fakta sebagai sesuatu yang sakral, jadilah penulis fiksi -- bukan wartawan. Jangan pernah melaporkan gosip. Jangan merekayasa peristiwa. Dan jangan membedaki kutipan orang agar nampak lebih seksi. Keuntungannya sangat sedikit, harga yang harus dibayar sangat mahal.

Oleh: Farid Gaban

Catatan Anak Pinggiran

Tuesday, September 16, 2008

Libur Tlah Usai!

Tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya, masa-masa liburan yang baru saja selesai dilalui oleh anak-anak Gunung Tugel dengan mengais rejeki dari tumpukan sampah di desanya. Terletak di selatan kota Purwokerto, desa mereka dijadikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyumas. Anak-anak seusia seperti mereka terpaksa bergulat dengan rerongsokan dan aroma menyengat yang dapat mengganggu kesehatan. Ketika sebagian besar teman-temannya menikmati liburan ke tempat-tempat wisata, mereka “berwisata” di pegunungan sampah. Jika teman mereka di rumah dihibur dengan perangkat video games, mereka menikmati bersanding dengan games box bekas dengan mengandaikan bisa memilikinya.
Bisa jadi tidak pernah terpikirkan oleh bocah-bocah gunung tugel, resiko mereka setiap hari beraktivitas di pembuangan sampah. Mekanisme biologis yang mengakibatkan pembusukan pada sampah menghasilkan bahan-bahan kimia berbahaya baik berupa gas maupun cair. Dalam jangka waktu yang lama apabila itu dilakukan dalam intensitas waktu yang tinggi bisa mengakibatkan kegagalan fungsi pernafasan. Bahkan bisa jadi sebenarnya mereka sangat memahami resiko yang ada namun desakan kebutuhan yang membuatnya mengabaikan hal-hal tersebut.
Wajah-wajah lugu mereka menampakkan pemahaman yang sederhana mengenai kehidupan. Bahwa hari esok mereka meski lebih baik harus diperjuangkan dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya. Ketika ditanyakan ke salah satunya untuk apa mereka bermain-main disini, dijawabnya dengan “lantang untuk beli buku dan bayar sekolah!” Jawaban ini mengajak kita untuk berpikir ulang mengenai makna pendidikan dan bagaimana kita telah diberi kemampuan berpendidikan untuk mensyukurinya. Sebuah semangat yang menebar bersamaan dengan aroma busuk sampah, dan ini membuatnya menjadi terasa semakin wangi.
Mereka lakukan hal ini setiap hari sepulang sekolah hingga sore menjelang, dan malam disiapkan untuk belajar serta mengaji. Setiap hari menyetor ke tempat pengolahan sampah dan hanya berupah senilai sebatang pensil baru yang mereka gunakan untuk mencatat setiap perkataan guru di sekolah keesokan hari. Terus berlanjut seperti ini keseharian mereka, tidak ada dinamika kecuali setiap hari mesti berhadapan dengan rasa lapar yang hanya mampu diobati dengan menelan ludah memandangi sisa-sisa makana yang telah busuk.
Inilah sebagian kecil dari fakta kesenjangan sosial di negeri ini. Kita tidak pernah bisa menghindari realita tersebut, meskipun banyak dari kita juga telah hidup dengan lebih nyaman. Sungguh disayangkan ketika kesenjangan semakin terbentang lebar, kita dihadapkan juga dengan realita banyaknya pemimpin di negeri ini mengkhianati amanah dan meneguk keuntungan pribadi diatas penderitaan rakyatnya. Kesungguhan anak-anak negeri ini agar mampu mengenyam bangku pendidikan tidak diikuti dengan kesungguhan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.
Kini masa-masa liburan itu telah usai, tidak hanya bagi anak-anak pengais sampah tapi juga untuk kita semua. Kini yang mesti kita hadirkan dalam keseharian kita adalah semangat untuk belajar, berusaha dan memberi dengan segala kebaikan yang telah Alloh berikan kepada kita. Semangat yang lahir dari jiwa penuh rasa syukur dan pemahaman yang benar mengenai keadilan sosial. Tidak sekedar menjadi retorika politik ketika kita ingin dikenal berjiwa sosial untuk kepentingan duniawi. Masa yang akan datang adalah kenyataan dari impian kita hari ini, seperti halnya impian anak-anak penuh gairah untuk menempuh jalan pendidikan yang tak mudah. Semua itu harus menjadi satu bagian dengan keyakinan kita bahwa Alloh Swt adalah Yang Maha Memelihara.

Identitas Mahasiswa

Mahasiswa; Sebuah Fakta Tentang Suatu Identitas

Selamat datang mahasiswa, selamat bergabung dalam dunia yang meminta kita senantiasa membuka mata hati. Tuntutan untuk selalu memperluas khasanah berpikir dalam realita yang dinamis. Kampus menuntut dinamika mulai dari individu, kelompok hingga lingkungan secara utuh. Dinamisasi yang menjadi proses mengukuhkan identitas sebagai elemen penting dari masyarakat. Dalam dinamika ada dinamika, itulah yang membuat identitas mahasiswa menjadi semakin kokoh dan untuk kemudian siap berkontribusi.
Selamat datang dalam realita dunia yang gegap gempita, menyengat hampir membuat kita terbujur kaku tak mampu berbuat apa-apa. Dunia, yang dalam satu dekade terakhir ini gempar memberitakan perang melawan terorisme tentu saja tak boleh terlepas dari peperangan kita terhadap keterpurukan kaum pinggiran. Di dunia 40 juta orang terinfeksi HIV AIDS, 824 juta orang kelaparan, 630 juta orang kehilangan tempat tinggal, dan masih banyak fakta lainnya. Ketika dunia menyatakan perang melawan terorisme maka kita juga harus berperang melawan wabah penyakit, kelaparan dan kemiskinan.
Itulah fakta dunia yang kemudian menyeret bangsa Indonesia pada realita yang tak kalah memprihatinkan. Sejumlah 37 juta rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, 1,67 juta balita menderita busung lapar, lebih dari 4 juta anak putus sekolah, serta ribuan penderitaan lainnya. Data ini pun masih terus berkembang dengan asumsi naiknya kebutuhan bahan pokok, meningkatnya angka penggusuran dan bencana yang akhir-akhir melanda negeri ini. Hal ini semakin diperparah dengan fakta yang terungkap mengenai perangkat pemerintahan yang terlibat korupsi dan kasus suap akhir-akhir ini.
Kini, negeri ini merindukan hadirnya sosok-sosk pahlawan yang rela berkorban dengan segala potensinya untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan. Disinilah kemudian posisi mahasiswa berperan paling depan sebagai bagian dari elemen intelektual muda. Kondisi ini tetntu menjadi kontradiktif ketika kita melihat realita kaum muda kita yang menjadi korban materialisme global bernama “hedonisme dan egoisme”. Potensi mahasiswa tentu saja akan terbunuh dan lenyap dari harapan masyarakat ketika lingkaran materialistik tidak didobrak Hegemoni duniawi yang mempersempit hati dan mendangkalkan nalar pikir kita akan membawa pada hilangnya jati diri mahasiswa.
Kita sebagai mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman tentu tak asing dengan nama Panglima Besar Jenderal Soedirman. Keberadaan beliau sebagai pahlawan negeri telah diakui dunia, jiwa patriotisme diwariskan melalui semangat pendidikan kampus kita idealnya. Jenderal Soedirman sama seperti sebagian besar kita, berasal dari keluarga bisa dan merasakan kemiskinan dalam perjalanan hidupnya. Ia hanyalah anak kampus yang miskin, kurus dan sakit-sakitan. Tetapi ia memilih jalan perjuangan untuk membebaskan rakyat dari penderitaan di negerinya sendiri.
Beliau adalah tauladan yang menjadikan semangat berjuang sebagai ruh yang tak mungkin lepas dalam kehidupannya meski ketiadaan ada dihadapannya. Hari ini, mahasiswa dicitrakan sebagai penopang kebangkitan layaknya pahlawan kita Jenderal Soedirman. Maka jangan siakan peluang menjadi “yang berbeda” dari lainnya sebagai mahasiswa, karena tak sedikit dari saudara kita di luar sana yang menderu keinginannya untuk menjadi “mahasiswa’. Tak sekedar mahasiswa namun juga pembewa perubahan menyerukan kebaikan dengan potensi intelektual, sosial dan spiritual.
Sungguh-sungguh, untuk mengentaskan kemiskinan Indonesia. Cerdas, untuk mengatasi ketertinggalan teknologi bangsa ini. Peka, untuk memperbaiki masalah-masalah negeri ini. Berani, untuk meluruskan apa yang melenceng dari negeri ini. Tulus, yang tegak berdiri di atas nuranimu. Maka kita juga memerlukan konsistensi dalam perjuangan kita sebagai apapun, tidak mesti dijalanan namun dimanapun kita berdiri.
Milikilah tujuan hidup dan fokus menjalaninya, konsep diri yangg jelas dan prinsip hidup yang kuat. Kita juga meski memperkuatnya dengan penempaan dengan pengalaman empiris serta membaca secara tekstual dan kontekstual. Masuklah dalam realitas sosial masyarakat, implementasikan pengetahuan dengan kerja nyata. Dan yang terakhir kita meski memilki kemauan keras dan berani mengambil resiko, maka ilmumu akan bermakna, dirimu akan berharga, bangsamu akan benar-benar merdeka.

Salam Perjuangan,
Hidup Mahasiswa!!!



Presiden BEM UNSOED
Begras Satria

Hampa

Monday, July 28, 2008

Hampa

kepada sri

Sepi di luar.
Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala.
Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada.
Dan menanti.


Chairil Anwar

Momentum Kepahlawanan Soedirman

Thursday, July 3, 2008


Keteguhan hati Panglima Besar Jenderal Soedirman yang kita kenal tentu tak akan berbekas andai saja tak disertai pengorbanan dan ketulusan seluruh barisan pejuang dan rakyat pada masa itu. Hal ini menegaskan bahwa momentum yang hadir dalam kehidupan seorang Soedirman tidak berdiri sendiri, disana ada peran persatuan dan juga kebulatan tekad untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Kini situasi sudah jauh berubah. Tak ada lagi penjajahan sebab seluruh bangsa-bangsa di dunia ini sudah menjadi negara berdaulat dan kemerdekaaan sudah menjadi sebuah hal universal bagi seluruh negara di manapun itu.
Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana mengisi dan mempertahankan kemerdekaaan. Semangat kepahlawanan adalah kekuatan untuk hal itu. Penjajah memang tak lagi datang, tetapi bahwa model lain dari penjajahan itu sudah menjadi persoalan kita sejak lama.

Dari dalam diri kita sendiri, penjajah datang dalam bentuk kebuntuan cara berpikir. Persoalan besar kita adalah persoalan kemiskinan, kebodohan, kemelaratan politik serta apatisme yang kemudian menghasilkan perpecahan yang nyaris sempurna menghancurkan bangsa ini. Orientasi ke masa depan hampir tidak ada. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan kemapanan yang ada. Sebab kita adalah negeri yang amat terbiasa hidup dalam kenyamanan kehidupan yang semu. Sejak kita merdeka, memang negara ini tidak pernah membangkitkan semangat.

Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial. Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu. Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Semangat kepahlawanan tidak hanya berhenti di euforia perenungannya saja dengan segala macam atribut nasionalisme-nya

Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan? Bukankah Soedirman yang selalu kita kenang dan kita banggakan di kampus ini meneladankan sikap-sikap seperti diatas?

Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Negara tanpa pahlawan sama artinya negara tanpa kebanggaan. Pahlawan menjadi penting karena ia memberi inspirasi. Inspirasi untuk selalu memperbaiki kondisi negeri. Inspirasi agar bangsa ini terus bangkit.

Setiap generasi memang memiliki persoalan dan tantangannya sendiri. Dulu, musuh utama bangsa ini adalah penjajah. Heroisme untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun menjadi pekik yang tidak pernah berhenti disuarakan. Kini, siapa yang layak menjadi musuh bangsa ini? Ada begitu banyak varian permasalahan yang muncul karena sikap egois, begitu besar kemungkinan ego gerakan dalam perjuangan mahasiswa menjadi hambatan bagi kita untuk memberikan kontribusi bagi negeri dan umat manusia.

Sudah saatnyalah mahasiswa sebagai figur calon pemimpin negeri ini berhenti berbicara mengenai diri dan mereka saja. Harus jujur kita akui bahwa fondasi semangat negeri ini sudah sangat rapuh, yang ada adalah disharmoni, perebutan dan intrik politik yang kontraproduktif. Tentu saja kita tidak bisa untuk sekedar menanti munculnya pahlawan baru dalam barisan perjuangan mahasiswa, tapi kita meski melahirkan momentum kepahlawanan bagi diri kita. Dengan teladan Jenderal Soedirman yang bersahaja, teguh hati, dan rela berkorban maka kita akan menyaksikan dalam episode sejarah perjuangan mahasiswa sebagai optimisme kebangkitan bangsa untuk melahirkan Soedirman-Soedirman yang baru.


Begras Satria

Presiden BEM KBM Unsoed

Perguruan Tinggi Meringis Rakyat Menangis

Perguruan Tinggi Meringis Rakyat Menangis

Membongkar Fungsi dan Peran Perguruan Tinggi yang Telah Dibenamkan oleh Kepentingan Kapitalisme”




Oleh : Begras Satria W

Presiden Partai Harapan”

( A1D002041)

Perguruan Tinggi Meringis Rakyat Menangis


Peran perguruan tinggi dalam membangun peradaban yang lebih berkeadilan ternyata hanya mitos asam manis yang telah lalu. Keresahan ada dimana-mana ketika liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan mulai merajalela, terutama pada masyarakat lapisan paling bawah. Paradigma bahwa setiap warga negara berhak mengenyam pendidikan setinggi-tingginya seakan berbalik menghujam melampaui keterbatasan mereka. Seiring dengan makin maraknya penolakan terhadap kapitalisasi pendidikan, ternyata pemerintah tak juga bergeming mendengarkan aspirasi masyarakat. Seakan-akan semua teriakan aspirasi itu tak terdengar karena begitu bisingnya deru mesin kendaraan bermotor dan pacauan mesin industri yang merupakan produk nyata dari industrialisasi. Tak pelak sebagian elemen masyarakat yang tetap memegang teguh prinsip kritis dalam rangka membangun peradaban yang lebih humanis mendapat tantangan besar. Sentuhan industri pada akhirnya juga akan menyerempet bahkan memaksa dunia pendidikan untuk tersudut kaku menerima tawaran industrialime dan kapitalisme tersebut.

Bangsa ini hampir saja tak lagi mampu mengenal nilai, atau memang sudah sejak dulu tak pernah mengenal nilai. Sektor pendidikan yang menjadi ujung tombak pembangunan tatanan kehidupan masyarakat agar lebih beradab sekarang terkulai lunglai. Samar-samar tapi pasti upaya privatisasi institusi pendidikan mulai terasa terutama di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) besar di Indonesia. Upaya privatisasi ini tentunya menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat karena secara tidak langsung pergeseran fungsi pengabdian masyarakat. Perguruan Tinggi bisa saja dengan kebijakan ini akan mengabaikan tanggungjawab sosialnya dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi bagi masyarakat.

Perubahan secara sistematis menjadi badan hukum milik negara (BHMN) itu telah menyisakan banyak problematika pada lingkungan strategis perguruan tinggi negeri (PTN) sendiri, baik pada tataran struktur organisasi, budaya (kultur) organisasi, manajemen perguruan tinggi, model perekrutan mahasiswa sampai pada biaya kuliah di PTN yang melambung tinggi. Implikasi negatif dari BHMN yang dirasakan masyarakat secara langsung adalah semakin mencuatnya fenomena komersialisasi di kampus-kampus BHMN. Walaupun tanpa BHMN fenomena komersialisasi kampus itu telah marak melakukan proyek komersial, seperti mendirikan program diploma dan ekstensi. Seperti halnya di Universitas Jenderal Soedirman, walaupun belum berstatus sebagai BHMN namun praktik komersialisasi pendidikan telah lama bergulir. Seakan memang dipersiapkan untuk menjadi bom waktu, permasalahan ini tak kunjung henti dan sekali lagi korbannya adalah mahasiswa.

Hal penting yang mesti menjadi perhatian kita bersama adalah komitmen sebuah perguruan tinggi untuk tetap memberi kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat, tanpa ada langkah yang diskriminatif seperti alasan ekonomi. Dari hasil jajak pendapat Kompas, sebagian (64 persen) dari 940 beranggapan bahwa masuk perguruan tinggi saat ini demikian mahal (Kompas, 22 Juni 2003). Itu artinya, angka yang begitu kecil-yaitu 1,6 juta yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi dari 5,6 juta yang berpendidikan SLTA-adalah disebabkan mahalnya biaya pendidikan.

Di Unsoed, dulu terkenal dengan jargonnya ”kampuse wong cilik” kini tidak lagi mampu menopang beratnya kebutuhan pelayanan akademis kepada mahasiswanya. Beberapa program sarjana yang baru berdiri ”menjual kursi” dengan harga rata-rata hingga lebih dari lima puluh juta rupiah (50 juta – pen), belum lagi biaya per semester yang melonjak naik selama tiga tahun terakhir ini. Hal ini diperparah dengan adanya beberapa pungutan liar yang dikenakan kepada para mahasiswa baru. Catatan peristiwa di kampus ini juga sempat menarik perhatian nasional, yaitu ketika aksi mogok makan yang dimulai Kamis 5 Februari 2004 yang diikuti 20 mahasiswa Unsoed dari Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Aksi itu diadakan untuk menolak pungutan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sebesar Rp 150.000 per mahasiswa.

Walaupun aksi ini tak berbuah manis bagi kepentingan mahasiswa, namun yang cukup jelas disini adalah aroma perjuangan mahasiswa dalam membela kepentingan rakyat bisa tercium hingga seantero negeri. Forum Anti Pungli sebagai motor aksi tersebut telah berusaha memperluas dukungan dengan mengumpulkan tanda tangan mahasiswa yang juga menolak SPI. Selain itu, sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan mendatangi kemah keprihatinan yang didirikan di depan kantor rektorat Unsoed untuk menyatakan keprihatinnya. Hal ini semakin memperkuat nuansa perlawanan di basis paling bawah, karena dengan kondisi ini mampu memberikan energi bagi aksi-aksi penolakan terhadap kapitalisasi pendidikan yang lain.

Kembali lagi berbicara isu kapiatalisasi pendidikan secara umum, dampak pelaksanaan otonomi perguruan tinggi atau PT sejauh ini belum dapat dikatakan positif. Pertama, biaya kuliah tinggi harus ditanggung mahasiswa karena beban tanggung jawab PT untuk membiayai sendiri penyelenggaraan operasionalnya. Sebagai contoh, di Universitas Jenderal Soedirman, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang baru masuk harus membayar hingga seratus juta rupiah (Rp 100 juta - pen).

Kedua, bermacam program pendidikan yang ditawarkan para pengelola PT untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi institusinya tidak dapat dimungkiri bermuara pada upaya mencari sumber-sumber pendanaan. Unit-unit pelayanan dikerahkan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang mendatangkan uang bagi unit itu. Keanggotaan perpustakaan yang semula boleh dikatakan gratis karena termasuk fasilitas akademik, kini dikenai biaya. Kesan tak terhindarkan, unsur dan unit institusional PT telah berubah menjadi mesin kapital.

Namun, yang paling mengkhawatirkan, otonomi PT ditafsirkan sebagai pendelegasian wewenang kepada setiap prodi dan unit pelayanan untuk beroperasi mencapai tujuannya sendiri, dengan cara dan dalam ukuran akuntabilitasnya sendiri. Setiap unsur dalam PT dibiarkan mengurusi diri sendiri. Seolah dilakukan distribusi kewenangan dan legalitas, namun apa yang sebenarnya terjadi adalah, meminjam istilah Drost (1999), keberagaman dalam keterserakan. Dalam situasi demikian, bukan saja ancaman terjadinya multiversitas begitu nyata, tetapi juga kerja interdisipliner sebagai agenda multikulturalisme (Kocklemans, 1979) tidak dapat diharapkan tersemai dalam dunia PT. Artinya, alih-alih mendorong kinerja PT sebagai pencerah masyarakat, otonomi justru memperkokoh orientasi kapitalistik dan memupus misi dasar keberadaan PT. Ke sanakah arah PT setelah otonomi?

Kiranya banyak hal esensial selain pendanaan yang seharusnya menjadi perhatian para pengelola PT di era otonomi ini. Misalnya, dengan otonomi, PT berwenang menentukan bobot muatan kurikulum untuk menunjukkan keunggulan khas masing-masing sebagai wujud refleksi keprihatinan apa yang terjadi di masyarakat, seperti diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) No 232/U/2000. Semangat otonomi seharusnya menumbuhkan keberanian para pengelola PT menentukan/ membentuk badan akreditasi yang dianggap sesuai dengan misi keberadaan institusinya. Kerja sama PT perlu dilakukan untuk mengembangkan sektor- sektor pelayanan PT, misalnya kuliah antar-PT untuk memperluas wawasan mahasiswa. Singkatnya, selain tanggung jawab pendanaan, sisi lain otonomi sebenarnya adalah kesempatan untuk mewujudkan gagasan sivitas akademika tentang jati diri keilmuan (institusi) mereka di masa depan.

Masalahnya, tidak banyak pengelola PT yang menganggap pencarian jati diri keilmuan sebagai tantangan mendasar keberadaan PT dewasa ini. Persoalan mempertahankan “hidup” institusi telah mengarahkan perhatian para pengelola PT semata pada pengembangan yang langsung mendatangkan dana. Visi kepemimpinan PT dewasa ini adalah bagaimana mengolah segala potensi menjadi dana pembiayaan operasional PT.

Fungsi dekan fakultas, misalnya, bukan lagi head of school yang membawa visi pengembangan suatu bidang ilmu sebagaimana dilakukan John Dewey, tetapi sebagai administrator. Dalam iklan-iklan lowongan menjadi rektor atau dekan di suatu PT, disyaratkan managerial skill dan pengalaman sebagai chief executive officer (CEO) suatu perusahaan, namun tidak disyaratkan landasan visi filsafat pendidikan. Manajemen PT dipandang sebagai murni manajemen perusahaan sehingga Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar meminta para pengelola PT berperilaku seperti manajer (Kompas, 13/7/2004).

Secara khusus, para dosen mengeluhkan beban kerja (workload) mengajar yang menyita praktis seluruh waktu mereka. Ini persoalan klasik yang dirasakan juga para dosen di Amerika Serikat (Menges & Austin, 2001). Di negara itu, bahkan dosen yang mengajar di research university mengaku sebagian besar waktu mereka habis untuk mengajar daripada meneliti. Di Indonesia, beban mengajar dosen umumnya berkait langsung dengan nominal penghasilan. Namun, upaya untuk “menyeimbangkan” beban mengajar dan meneliti dengan menaikkan insentif penelitian tidak serta-merta memacu dosen meneliti, seperti terjadi di sebuah PT di Yogyakarta. Jadi, meski mengeluhkan beban mengajar dan mengidealkan kegiatan meneliti untuk meningkatkan profesionalitas keilmuan, dosen agaknya telah merasa mapan dengan rutinitas mengajar. Dalam semangat otonomi PT, fenomena kemapanan ini perlu dikaji dan dirombak.

Mentalitas mapan menyebabkan kemandekan produktivitas kerja intelektual dosen, seperti ditengarai Nurhudin (Jawa Pos, 29/2/04) dan Nur Khalid Ridwan (Jawa Pos, 7/3/04). Sementara menurut Heru Nugroho (Kedaulatan Rakyat, 16/2/04), orientasi ekonomi politik telah memasung kekritisan sivitas akademika sehingga ogah berpikir rumit, puas dengan predikat “pencari kebenaran” yang disematkan masyarakat, dan mapan dengan daya jual ilmu yang dimilikinya.

Refleksi itu mungkin benar. Namun, saya melihat anggapan keliru tentang keseimbangan pelaksanaan unsur-unsur tridarma PT turut mendorong tenggelamnya profesionalitas dosen. Anggapan umum, mengajar lebih mudah daripada meneliti. Misalnya, bahan ajar, penjelasan lisan di kelas, contoh-contoh dan bahan ujian dapat disiapkan sekali saja untuk mata kuliah yang sama. Anggapan ini tentu tidak tepat. Mengajar, meneliti, dan melaksanakan pengabdian masyarakat sama tidak ringannya jika itu dijalankan dengan sungguh- sungguh.

Oleh karena itu, tuntutan agar dosen melaksanakan seluruh ketiga unsur tridarma PT sebenarnya tidak realistis. Dosen tidak mungkin sekaligus menjadi pengajar, peneliti, dan pelaksana pengabdian masyarakat, kecuali jika peran-peran itu cukup dijalankan secara setengah-setengah. Seperti dicatat Menges & Austin, di AS universitas yang berusaha menekankan seluruh ketiga unsur tridarma bagi dosen-dosennya hanya menuai inefisiensi dan keluhan lebih besar.

Dengan otonomi dewasa ini, PT di Indonesia harus berani memilih unsur mana dari tridarma PT yang akan dijadikan misi dan tekanan utamanya. Dengan satu misi, proses perwujudannya akan lebih terfokus dan sungguh-sungguh. Meskipun demikian, hal terpenting adalah motivasi para dosen di PT itu. Mungkin para pengelola PT perlu menciptakan mekanisme untuk terus-menerus menumbuhkan motivasi profesi dosen agar mereka yang semula menjadi dosen secara kebetulan kemudian menjadi dosen yang betul-betul. Revitalisasi jati diri keilmuan harus dimulai dengan dosen-dosen yang penuh semangat menghayati dan menjalankan profesinya. Ini hanya mungkin jika dalam menyelenggarakan PT, para pengelola PT mampu menghidupi paradigma di luar paradigma untung-rugi ekonomi. Kiranya kita sepakat, arah dan dampak otonomi PT tergantung sivitas akademika di setiap PT, apakah kian borjuis, elite, dan kapitalistik, atau membawa pencerahan dan perbaikan mutu.

Kita juga menyaksikan semakin menguatnya unsur hiburan (entertainment) dalam kegiatan kampus. Menurut pengamatan saya, pergeseran aktivisme kemahasiswaan di kampus-kampus di tanah air baru terasa pasca-1998 dan kian menguat sejak 2000. Belum pernah industri waktu luang dan ajang konsumsi massa merembesi kehidupan kampus, seperti saat ini. Kini begitu sering kita menyaksikan mahasiswa menggelar acara gebyar musik kampus atau konser-konser musik yang mendatangkan artis dan didukung iklan konsumsi massa seperti rokok dan industri otomotif. Beberapa waktu yang lalu pentas artis masuk kampus di sebuah universitas bahkan sempat menelan korban karena insiden robohnya bangunan tempat mahasiswa menyaksikan pentas artis pujaan mereka.

Kadang-kadang kita bahkan menyaksikan forum-forum seminar akademis pun mendatangkan bintang tamu yang menurut panitianya telah mencapai status selebritis. Baik mereka sebagai pembicara, moderator (istilah kerennya presenter), atau sekadar melantunkan sebuah lagu di sela-sela acara. Rupanya, sekarang ini "selebritisasi aktivitas intelektual" telah bertemu dengan "intelektualisasi selebritis". Di satu sisi, para intelektual dan politisi ingin seperti artis dan selebritis. Karena itu, presiden pun merasa harus terus bernyanyi, sekalipun BBM naik dan rakyat kebanyakan susah. Di sisi lain, para artis pun ingin kelihatan seperti intelektual, yang menjadi impian mahasiswa di pentas hiburan dan konsumsi massa.

Selain itu kita juga menyaksikan sekarang ini kampus-kampus terkesan semakin sesak dan kehilangan kesunyiannya sebagai tempat untuk belajar yang sesungguhnya memerlukan suasana tenang. Setelah berkunjung ke beberapa kampus dan berbincang dengan sejumlah aktivis mahasiswa, ada kesan kuat yang terasa bahwa kantin, ruang kuliah, dan halaman parkir di kampus-kampus ternama di Indonesia sekarang ini terasa semakin sesak. Sementara ironi nasib perpustakaan, tetap saja lengang pengunjung dan sepi buku baru.

Hal-hal semacam inilah barangkali cermin kontradiksi dari dunia pendidikan tinggi kita akhir-akhir ini, ketika ruang-ruang pemekaran imajinasi, inspirasi, dan kreativitas mahasiswa semakin menyempit, sementara ajang-ajang kreativitas mahasiswa terus dikudeta oleh logika budaya kapitalisme. Kalau pada era 1960-an dan 1970-an, kita mengenal ungkapan "sebuah jaket yang berlumuran darah" untuk menggambarkan perjuangan mahasiswa saat itu. Kini mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menggunakan ungkapan "sebuah jaket yang berlumuran lipstik, parfum, dan minyak wangi"!

Dengan bergulirnya transformasi yang tengah berlangsung dalam kultur (sebagian) mahasiswa dan dunia pendidikan tinggi di tanah air, memberikan apresiasi yang kritis terhadapnya. Kita khawatir kalau kemudian karena godaan sesaat demi meraup pemasukan dari mahasiswa, para pengelola pendidikan tinggi menjadi kurang selektif dan kurang mekanisme kontrol kualitas terhadap calon mahasiswa dan lulusannya. Kita juga khawatir anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu semakin terbatas aksesnya untuk memasuki perguruan tinggi, apabila tidak ada mekanisme untuk menyeleksi calon mahasiswa baru. Bukan hanya berdasarkan kemampuan membayar uang kuliah, tapi benar-benar karena kemampuan dan potensi kecerdasannya. Menurut saya, di sinilah subsidi pemerintah masih harus dan tetap dibutuhkan dalam pendidikan. Saya teringat dengan kata-kata Vaclav Havel, "Kita tidak boleh menghemat investasi di bidang pendidikan dan kebudayaan."

Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan tidak hanya berakibat pendidikan menjadi seperti industri pencetak lulusan. Tapi bahkan pendidikan diperlakukan seperti bisnis besar (big business) yang harus meraih laba sebesar-besarnya. Konsekuensinya, dunia pendidikan harus memenuhi hukum pasar. Ini akan berakibat pada perubahan watak/karakter pendidikan tinggi dan kultur akademis serta berimplikasi pada dunia kemahasiswaan itu sendiri. Ketika kriteria pasar merembesi logika pendidikan tinggi, maka lingkungan belajar akan mengalami perubahan mendasar dan anak didik pun akan diperlakukan sebagai konsumen ketimbang warga negara. Pada saat yang sama, pribadi-pribadi peserta didik pun menjelma menjadi objek atau komoditas ketimbang subjek yang harus diberdayakan.

Tak heran kalau fenomena anomi, alienasi dan depersonalisasi muncul justru di tengah kebimbangan pencarian identitas diri mahasiswa, sehingga ada di antara mereka yang lari ke radikalisme dan sebagian yang lain ke hedonisme. Rupanya "kampus ideologis" sebagai ajang indoktrinasi ala penataran mulai bergeser menjadi "kampus hedonis" sebagai ajang indoktrinasi kapitalisme dan gaya hidup konsumsi massa. Tentu saja, dalam lingkungan kampus seperti ini, masih tetap ada yang tekun belajar dan kreatif, dan sebagian yang lain mungkin menggeluti spiritualisme. Tumbuhnya radikalisme dan hedonisme di kalangan sebagian mahasiswa adalah fenomena yang menyertai komersialisasi dunia pendidikan yang harus kita cemaskan. Dalam suasana anomi, alienasi, dan depersonalisasi kehidupan, kita tidak ingin semangat jiwa-jiwa muda bergerak ke arah saluran-saluran yang destruktif. Kita ingin energi kreatif dan kecerdasan anak-anak muda menjadi kekuatan pengubah bangsa ini ke arah yang lebih baik dan beradab. Hingga pada akhirnya tuntutan bagi pendidikan tinggi untuk menemukan nilai dalam tatanan masyarakat menjadi kebutuhan utama

Pada prinsipnya upaya perlawanan untuk menolak kapitalisasi pendidikan jangan sampai terhenti pada isu komersialisasi an sich saja, tetapi ujian bagi kemampuan untuk mengembangkan perguruan tinggi yang profesional dan unggul, namun dengan tidak melupakan "karakter dasar" sebagai lembaga pendidikan tinggi milik publik. Sebagai institusi publik, melalui pendidikan dan penelitian, Perguruan Tinggi berkewajiban mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, kepada semua lapisan masyarakat. Upaya memposisikan PTN sebagai intellectual formation, sehingga berperan dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis, dengan perubahan status hukumnya, maka mesti dilacak "karakterisasi" dan "profil" yang tepat untuk menghindari keterjebakan PT BHMN ke dalam nuansa "kapitalisme pendidikan". Untuk itu, minimal ada tiga prinsip fundamen yang dibutuhkan untuk membentuk karakter ideal sebuah PT BHMN.

Pertama, pendidikan sebagai tanggung jawab sosial. Tujuan sosial pendidikan tinggi ini harus merupakan dasar dari prinsip "nirlaba" dalam penyelenggaraan suatu perguruan tinggi. Bagi setiap perguruan tinggi berlaku bahwa penyelenggaraan kegiatan fungsional (Tridarma Perguruan Tinggi) ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat manusia, serta mengacu pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang senantiasa berkembang. Karena pendidikan merupakan tanggung jawab sosial, maka konsekuensinya negara harus men-support secara total kegiatan pendidikan tinggi. Dengan kata lain, negara harus bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan.

Kedua, kapasitas manajemen yang profesional. Penting bagi perguruan tinggi untuk memiliki kemampuan manajemen dan kapasitas perencanaan yang mencukupi. Desakan adanya akuntabilitas dan peningkatan efisiensi, risiko yang mungkin ditemui dalam membuat berbagai keputusan, dan standar kualitas yang dipersyaratkan memerlukan tingkat kapasitas manajemen dan kepemimpinan yang mencukupi.

Selama Orde Baru, PTN sebagai suatu unit di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki otonomi pengelolaan yang lebih luas. Kebijakan pendidikan sangat terasa nuansa sentralistiknya, yang mengakibatkan kebebasan akademis dan kemandirian kampus sangat terpasung oleh penguasa. Akibat hal ini, upaya terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan terhambat. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan kebijakan yang seragam dan tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/kepentingan PTN yang bersangkutan, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.

Ketiga, peningkatan kualitas akademis yang terus-menerus. Definisi dari kualitas mencakup pelaksanaan norma akademik dan nilai-nilai yang berlaku pada PTN yang bersangkutan, dan harus menjamin bahwa kepentingan kualitas tidak dikorbankan karena pertimbangan seperti keuangan, politik, dan keuntungan ekonomis lainnya.

Perubahan karakter, yang awalnya PTN menjadi PT BHP, perlu dilakukan secara bertahap dan sistematik agar tidak menyebabkan potensi konflik mengarah pada suasana yang destruktif. Semangat perubahan-perubahan itu harus pula diakomodasi dalam sebuah rencana induk pengembangan, sehingga setiap elemen di universitas-baik program studi, jurusan, fakultas, ataupun universitas-mesti memahami arah dan kebijakan, serta strategi dan prioritas yang akan diambil oleh manajemen perguruan tinggi tersebut. Proses pembentukan SDM (sebagian kalangan menyebutnya human capital) adalah meliputi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan pribadi individu, ditinjau dari banyak segi, dari sejak usia dini hingga terjun dalam dunia profesional. Jadi, ini mencakup sekolah, baik formal maupun informal, pelatihan, on-the-job training, dan semua kegiatan lain yang bertujuan meningkatkan pengetahuan.

Akan kaitannya dengan pemberdayaan SDM tersebut, yang perlu dilakukan adalah menekankan signifikansi penilaian kemampuan dan kreativitas individu sebelum memasuki dunia profesional. Proses peningkatan SDM tidak bisa dipaksakan pada tingkat PT, akibat yang ditimbulkan justru negatif. Terlebih dengan indikasi luluh lantaknya idealita Perguruan Tinggi yang menyerak pada kapitalisme, sungguh ironi ini bisa jadi adalah titik lemah yang semestinya mampu membangkitkan potensi masyarakat pada level paling rendah sekalipun. Penting dipahami adalah arsitektur peradaban manusia tak cukup ditopang oleh kekuatan intelektual saja, apalagi modus intelektual yang dijalankan beroperasi tanpa ikatan moralitas.


Wallahu ’alam bi shawab

Bangsa Ini Belum Merdeka


Napak tilas kemerdekaan negeri ini yang konon kini telah berusia 62 tahun, ternyata epidemi penindasan masih tetap mewabah sepanjang perjalanannya. Hari ini di beberapa daerah kota maupun desa, puluhan juta warga negeri ini masih merasakan perihnya kelaparan, penatnya pengagguran dan masih banyak lagi problematika sosial yang mewarnai bangsa ini. Seperti halnya epidemi penyakit yang menyerang tanpa ampun di beberapa daerah di nusantara akhir-akhir ini, tanpa nama dan tak ragu merenggut puluhan warga yang tak berdaya. Penindasan yang dalam bahasa lapangan lebih dikenal dan dirasakan masyarakat sebagai bentuk ke(tidak)adilan sosial, dalam berbagai macam bentuknya seperti mahalnya biaya pendidikan hingga harga kebutuhan pokok yang semakin tak terjangkau. Kita juga seringkali merasa canggung menyebut apa atau siapa sebenarnya ”penyakit” yang melanda bangsa ini, berbagai upaya pasca reformasi hingga hari ini belum membuahkan hasil yang signifikan. Ibarat serum yang dinantikan supaya dapat menetralisir penyakit yang ada ternyata tak kunjung tercipta meski jarum suntik telah meringis tajam.

Episode perjalanan kehidupan bangsa ini setelah memproklamasikan kemerdekaannya hingga kini telah melampui tidak kurang dari lima momentum perubahan sosial. Sebut saja pemberontakan G 30 S PKI sebagai momentum politik negara yang menggetarkan bangsa ini, meski ternyata merupakan skenario politik untuk mendirikan rezim yang bengis namun halus telah melakukan penindasan. Soeharto kala itu terkesan sebagai seorang pahlawan yang dianggap mampu membawa gerbong negeri ini menuju perubahan tata sosial masyarakat yang lebih baik. Benar adanya, ketika lebih dari 30 tahun (sebagian) masyarakat merasakan tentramnya hidup berbangsa dan bernegara kita cukup diakui dalam masyarakat internasional. Hingga pada tahun 1993 Indonesia mendeklarasikan swasembada beras dan berhasil menjadi eksportir beras dalam pangsa pasar dunia.


BEGRAS SATRIA W

Presiden Mahasiswa KBM UNSOED

Jurusan Teknologi Pertanian UNSOED

Purwokerto - Jawa Tengah

Segeralah Bertindak

Friday, June 27, 2008

"Jangan menunda hingga esok apa yang dapat Anda kerjakan hari ini."

(Benjamin Franklin)


Diawal buku ini kami telah menyampaikan sebuah slogan yang wajib dijalankan setiap calon wirausaha : Praktek! Praktek! Praktek! Inilah sesuatu yang para pemimpin dalam semua bidang sepakat.

Setiap pekerjaan besar – entah itu menjalankann perusahaan, penjualan tingkat tinggi, dalam sains atau pemerintahan – memerlukan orang yang berfikir untuk bertindak. Para eksekutif utama yang mencari tokoh kunci, menuntut jawaban terhadap perrtanyaan :"Apakah ia akan melaksanakan pekerjaan tersebut?" "Apakah ia akan menuntaskannya?" "Apakah ia orang yang berinisiatif?" "Dapatkah ia memberikan hasil, atau apakah ia hanya pandai omong?"

Semua pertanyaan ini mempunyai satu tujuan : Mencari tahu apakah orang tersebut adalah orang yang suka bertindak ?.

Gagasan yang bagus saja tidak cukup. Gagasan sederhana yang dilaksanakan dan dikembangkan, adalah seratus persen lebih baik daripada gagasan hebat yang mati karena tidak ditindaklanjuti. Tidak ada yang datang dengan hanya memikirkannya.

Ingatlah. Semuanya yang kita miliki di dunia ini, dari satelit hingga pencakar langit hingga makanan bayi, hanyalah suatu ide yang dilaksanakan

Memberi Ruh Pada Berita

Tugas seorang penulis adalah membuat sesuatu informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan adalah kegagalan seorang penulis. Dan karena informasi dan gagasan seringkali beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan, mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas (vogorous) serta elok (graceful) sehingga mampu menggaet dan memelihara minat pembaca untuk menyerap seluruh informasi yang disampaikan.

ELEMEN KEJELASAN

Singkat
Tulisan yang jelas umumnya bukan tulisan yang panjang lebar, melainkan justru ringkas dan terfokus. Ingat Hemingway? ''Less is more!''

Tulisan yang ringkas memberi kesan tangkas dan penuh vitalitas. Tanpa kata mubazir dalam kalimatnya dan tanpa kalimat mubazir dalam alenianya. Tulisan yang ringkas tak ubahnya seperti lukisan yang tegas (tanpa garis yang tak perlu) atau mesin yang efektif (tanpa suku cadang yang tak berfungsi).

Tulisan yang jelas dimulai dari pembuatan kalimat yang sederhana, ringkas dan tepat makna. Kuncinya: baca laporan dan amati sesuatu sejelas-jelasnya kemudian ceritakan kembali secara sederhana. Dan pilihlah satu angle:

  1. Dengan cermat memilih angle cerita sehingga penulis dengan mudah bisa mengelola bahan yang diperlukan untuk mengutarakan cerita itu.

  2. Pegang teguhlah angle cerita itu dengan menghapuskan bagian yang tidak berhubungan langsung dengan angle-nya atau pun tidak membantu mencapai sasaran.

Langsung, Tepat Sasaran

Tulislah ringkas menuju pengertian yang dimaksud. Pilih kata/kalimat yang spesifik untuk mewakili pengertian yang mengena (tanpa memberi peluang pada banyak interpretasi). Meluruskan apa saja yang berliku-liku. Menggergaji yang bergerigi. Berperang melawan kekaburan dan segala sesuatu yang mendua. Statemen yang abstrak adalah racun maut bagi seorang penulis.

Organisasi
Mulailah sebuah tulisan secara kuat, untuk memikat pembaca memasukinya. (Lihat bagian lain tentang lead). Jika mungkin, gunakan gaya bahasa naratif -- gaya seorang pendongeng yang piawai -- sebagai pendekatan dasar. Selesai menuliskan sebuah paragraf, pikirkan apa yang pembaca ingin ketahui pada alinea berikutnya; dan buatlah transisi serta keterkaitan antar alenia secara mulus. Cobalah untuk selalu menjaga konsistensi tema dalam keseluruhan cerita. Dan seperti dibuka dengan kuat, tutup juga cerita dengan tegas, tanpa membiarkan kejanggalan dan ending yang melambai.

Spesifik
Bagian-bagian yang rumit pecahlah dalam serpihan yang mudah dicerna. Gunakan contoh: seorang untuk mewakili kelompoknya. Dengan memberikan pengkhususan, seringkali juga menghadirkan suasana dramatis dan hidup.
(''Kematian 10.000 orang adalah statistik, tapi kematian satu orang adalah tragedi,'' kata Joseph Stalin).

Paralel
Jika Anda menulis sebuah topik yang padat, gambarkan melalui ungkapan yang mudah dipahami pembaca. Strategi militer misalnya dapat diterangkan melalui formasi pertandingan olahraga, rencana keuangan perusahaan dapat digambarkan melalui rencana anggaran keluarga.

APA ITU RUH CERITA?

Manusia
Setiap fotografer tahu bahwa gambar yang tidak menyertakan unsur kehidupan seperti manusia hanya akan berakhir nasibnya di keranjang sampah. Begitu pula dengan tulisan.

Pembaca suka membaca tentang manusia lainnya. Mereka kurang berminat pada isu dan gagasan ketimbang pada pribadi-pribadi. Jika kita bisa menampilkan sebuah wajah pada kisah rumit yang jarang diikuti pembaca, mereka akan terpikat membacanya dan memperoleh informasi.

Tempat
Pembaca menyukai sense of place. Kita bisa membuat tulisan lebih hidup jika kita bisa menyusupkan sense of place yang kuat. Misalnya: seperti apa lokasi tempat terjadinya pembunuhan itu, bagaimana suasana di balik panggung pertunjukan?

Indera
Kita harus berupaya untuk menyentuh indera pembaca. Membuat mereka melihat cerita dalam detil visual yang kuat, dan juga -- dalam kontek yang tepat -- membuat mereka mendengar, meraba, merasakan, membaui dan mengalami.

Irama
Tulisan yang monoton bisa dibantu dengan perubahan irama di dalam teks. Anekdot, kutipan, sebuah dialog pendek atau sebuah deskripsi dapat mengubah irama di aman pembaca bisa terikat sepanjang cerita dan membuat tulisan itu lebih hidup.

Warna dan Mood

Kamera televisi dapat menampilkan pemandangan yang sesungguhnya, dalam warna dan detil. Penulis tidak dapat menyajikan pemandangan dengan mudah, sehingga mereka harus berusaha keras untuk melukis dalam pikiran pembaca. Warna meliputi: citarasa, suara, bau, sentuhan dan rasa. Dan tentu saja sesuatu yang dapat dilihat: gerakan usapan, detil pakaian, rupa, perasaan. Warna bukan hanya sekedar kata sifat tetapi merupakan totalitas dari sebuah pemandangan.

Dalam menggambarkan warna, berarti Anda juga menceritakan tentang suasana (mood). Bahagia? Penuh emosi dan ketegangan? Sering hal semacam ini memberikan ketajaman perasaan terhadap cerita ketimbang bagian lain yang Anda tulis.

Anekdot
Anekdot adalah sebuah kepingan kisah singkat antara satu hingga lima alenia -- ''cerita dalam cerita''. Anekdot umumnya menggunakan seluruh teknik dasar penulisan fiksi -- narasi, karakterisasi, dialog, suasana -- untuk mengajak pembaca melihat cerita secara on the spot.

Anekdot sering dipandang sebagai ''permata'' dalam cerita. Penulis yang piawai akan menaburkan permata itu di seluruh bagian cerita, bukan mengonggokkannya di satu tempat.

Humor
Humor adalah bentuk ekspresi yang paling personal. Berilah pembaca sebuah senyuman, dan mereka akan menjadi sahabat Anda sepanjang hari. Dan buatlah mereka menanti tulisan Anda esok harinya. Tapi hati-hati dengan humor yang tak bercita-rasa.

Panjang-pendek
Makin pendek cerita makin baik. Kisah akan lebih hidup jika awalnya berdekatan dengan akhir (klimaks), sedekat mungkin. Alenia dan kalimat harus bervariasi dalam panjang.
Letakkan kalimat dan alenia pendek pada titik kejelasan terpekat atau tekanan terbesar.

Kutipan
Kutipan dalam tulisan berita memberikan otoritas.
Siapa yang mengatakannya? Seberapa dekat keterlibatannya dengan sesuatu peristiwa dan masalah? Apakah kata-katanya patut didengar? Kutipan juga memberikan vitalitas karena membiarkan pembaca mendengar suara lain selain penuturan si penulis.

Dialog
Perangkat ini jarang digunakan dalam koran atau majalah berita. Tapi, bisa menjadi wahana yang efektif untuk menghidupkan cerita. Dalam meliput sebuah sidang pengadilan, misalnya, atau mendiskusikan permainan dengan para atlet olahraga tertentu, kita bisa menghidupkan cerita dengan membiarkan pembaca mendengarkan para partisipan berbicara satu sama lain.

Sudut Pandang

Kita bisa membuat sebuah cerita biasa menjadi hidup dengan mengubah sudut pandang. Cobalah untuk melihat inflasi misalnya, dari sudut pandang seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari harus mengatur anggaran keluarga.

Identifikasi
Sebuah tulisan akan lebih hidup jika pembaca merasa dilibatkan dalam cerita dan membuat mereka mengerti mengapa sebuah masalah bermanfaat untuk mereka ketahui. Secara insidental, pembaca paling mudah mengidentifikasikan diri jika cerita ditulis dalam bentuk orang ketiga -- cara kebanyakan fiksi ditulis.

Bertutur
Tulisan yang hidup memiliki irama dan nada berbincang yang baik. Memiliki suara. Kita bisa menghidupkan cerita yang membosankan dengan menulis sesuatu seperti kita sedang membicarakan sesuatu kepada seorang pembaca -- dengan bahasa dan ungkapan keseharian yang kita pakai untuk berbicara.

Kata kerja

Kata kerja adalah mesin yang mendorong berjalannya sebuah cerita. Tulisan yang buruk bisa dihidupkan dengan mengaktifkan kata kerja pasif, menyederhanakan kata kerja kompleks, dan memperkuat kata kerja lembek. Kita harus senantiasa merasa gagal ketika menggunakan adverb atau kata sifat, ketika tak bisa menemukan kata kerja yang benar atau kata benda yang benar. ''Kata sifat adalah musuh bebuyutan kata benda,'' kata pujangga Prancis Voltaire.

Jangan Punya Belas Kasihan

Untuk menghindari berpanjang lebar, penulis harus mempersoalkan setiap bagian materi yang dipakai, sebelum dan sesudah tulisan dikerjakan.

Lihat pada laporan yang dibuat reporter maupun bahan yang Anda kumpulkan sendiri. Periksa setiap potong informasi, untuk mengetahui apakah itu cukup relevan, cukup punya hubungan yang jelas, dengan pokok persoalan. Bila tidak relevan atau tidak membantu Anda mencapai sasaran pokok, yaitu bercerita secara efektif, singkirkan atau coret saja, sehingga nanti tidak akan mengganggu. Jangan punya belas kasihan: bila materi tidak relevan, buang!

Setelah Anda menulis, perhatikan setiap blok materi yang Anda pakai. Apakah masih ada hubungan yang jelas dengan fokus cerita? Kalaupun relevan, apakah ia menambahkan sesuatu yang berharga dalam usaha Anda bercerita? Bila tidak, erase saja karena hal itu hanya akan mengurangi efektifitas penulisan Anda.

Tulisan Deskriptif vs Televisi

Dalam beberapa hal, televisi menang terhadap media cetak karena ia bisa menggambarkan bentuk fisik orang atau sesuatu barang dengan jelas di layar kaca. Pirsawan bisa menangkap dan menilai tokoh di TV, sedangkan pembaca koran harus mempunyai gambaran dari kata-kata yang tercetak (atau lewat potret kalau ada), yang bisa menunjukkan tokoh dalam cerita.

Tapi, dalam beberapa hal, penulis yang baik bisa mengubah kelemahan media cetak ini menjadi kemenangan. Yakni, dengan penulisan deskriptif. Gambaran yang ditangkap kamera hanya dangkal dan satu dimensi. Kelemahan TV adalah bahwa ia sangat terikat waktu yang sangat berharga, sehingga reporter TV jarang bisa memperoleh gambaran yang mendalam. Dan kalaupun waktu cukup tersedia untuk film dokumenter, katakanlah 1/2 jam, kehadiran kamera TV akan mengurangi suasana yang wajar dan realistis.

Kamera TV bisa menangkap gambaran yang baik pada feature yang menampilkan wajah orang, tapi penulis yang trampil bisa membuat feature lebih menarik dan memberikan gambaran sesungguhnya tentang tokoh masyarakat pada saat ia tidak disorot lampu TV. Yang lebih penting, penulis feature bisa memberikan gambaran tentang tabiat, gaya, lewat pengamatan yang terlatih baik, dan menekankan karakteristik orang, yang menyebabkan kita memperoleh pandangan ke dalam watak dan personalitas tokohnya.

Penulis feature tidak hanya memberikan pembacanya gambaran satu dimensi, tapi keseluruhan personalitas dan juga citra seseorang tokoh. Atau, bila menyangkut ''barang'', misalnya gambaran setelah ada musibah atau massa yang bersuka-ria, penulis bisa menampilkan mood (suasana).


(Farid Ghaban/ Brought to you by Pena Indonesia)

Posted by: anugerah_w on Saturday, January 21, 2006 - 02:54

Hudzaifah.org

Konsep dan Perencanaan dalam Automasi Perpustakaan

Pendahuluan

Penerapan Teknologi Informasi (TI) saat ini telah menyebar hampir di semua bidang tidak terkecuali di perpustakaan. Perpustakaan sebagai institusi pengelola informasi merupakan salah satu bidang penerapan teknologi informasi yang berkembang dengan pesat. Perkembangan dari penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan dengan teknologi informasi, diawali dari perpustakaan manual, perpustakaan terautomasi, perpustakaan digital atau cyber library. Ukuran perkembangan jenis perpustakaan banyak diukur dari penerapan teknologi informasi yang digunakan dan bukan dari skala ukuran lain seperti besar gedung yang digunakan, jumlah koleksi yang tersedia maupun jumlah penggunanya. Kebutuhan akan TI sangat berhubungan dengan peran dari perpustakaan sebagai kekuatan dalam pelestarian dan penyebaran informasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang seiring dengan menulis, mencetak, mendidik dan kebutuhan manusia akan informasi. Perpustakaan membagi rata informasi dengan cara mengidentifikasi, mengumpulkan, mengelola dan menyediakanya untuk umum.

Penerapan teknologi informasi di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain:

  1. Penerapan teknologi informasi digunakan sebagai Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan. Bidang pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan sistem informasi perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi bahan pustaka, pengelolaan anggota, statistik dan lain sebagainya. Fungsi ini sering diistilahkan sebagai bentuk Automasi Perpustakaan.

  2. Penerapan teknologi informasi sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Bentuk penerapan TI dalam perpustakaan ini sering dikenal dengan Perpustakaan Digital.

Kedua fungsi penerapan teknologi informasi ini dapat terpisah maupun terintegrasi dalam suatu sistem informasi tergantung dari kemampuan software yang digunakan, sumber daya manusia dan infrastruktur peralatan teknologi informasi yang mendukung keduanya. Dalam makalah ini selanjutnya akan membahas tentang automasi perpustakaan.

Faktor Penggerak

  • Kemudahan mendapatkan produk TI

  • Harga semakin terjangkau untuk memperoleh produk TI

  • Kemampuan dari teknologi informasi

  • Tuntutan layanan masyarakat serba “klick”

Alasan lain

  • Mengefisiensikan dan mempermudah pekerjaan dalam perpustakaan

  • Memberikan layanan yang lebih baik kepada pengguna perpustakaan

  • Meningkatkan citra perpustakaan

  • Pengembangan infrastruktur nasional, regional dan global.

Peranan Katalog dalam Automasi Perpustakaan

Katalog adalah keterangan singkat atau wakil dari suatu dokumen. Katalog perpustakaan elektronik adalah jantung dari sebuah sistem perpustakaan yang terautomasi. Sub sistem lain seperti OPAC dan sirkulasi berinteraksi dengannya dalam menyediakan layanan automasi. Sebuah sistem katalog yang dirancang dengan baik merupakan faktor kunci keberhasilan penerapan automasi perpustakaan.

Cakupan dari Automasi Perpustakaan

  • Pengadaan koleksi

  • Katalogisasi, inventarisasi

  • Sirkulasi, reserve, inter-library loan

  • Pengelolaan penerbitan berkala

  • Penyediaan katalog (OPAC)

  • Pengelolaan anggota

Bagaimana mengenai Layanan Referens ?

Layanan referens tidak termasuk dalam bagian yang terintegrasi dari suatu sistem automasi perpustakaan, namun yang lebih penting adalah penyediaan teknologi informasi yang digunakan dalam layanan referens. Layanan informasi referens dikembangkan dengan menyediakan koleksi dalam bentuk digital yang dikemas dalam CD-ROM dan akses informasi ke jaringan luar (LAN, WAN, Internet)

Peran CD-ROM

  • Mempercepat akses informasi multi media baik itu berupa abstrak, indeks, bahan full text, dalam bentuk digital tanpa mengadakan hubungan ke jaringan komputer.

  • Media back-up / cadangan data perpustakaan dan sarana koleksi referens bagi perpustakaan lain.

Peran Internet

  • Untuk mengakses infrormasi multimedia dalam resource internet.

  • Sarana telekomunikasi dan distribusi informasi.

  • Untuk membuat homepage, penyebarluasan katalog dan informasi.

Keperluan Pengguna

Pustakawan harus dapat melayani keperluan pengguna seperti permintaan akan akses yang lebih cepat ke informasi yang diperlukan dari dalam maupun luar perpustakaan. Dengan begitu diharapkan agar para pustakawan mahir dalam penggunaan teknologi informasi sehingga mereka dapat membantu pengguna perpustakaan dalam menemukan informasi yang diperlukan.

Apa yang harus diketahui dan dikerjakan oleh pustakawan dalam mengautomasikan perpustakaannya :

  • Faham akan maksud dan ruang lingkup dan unsur dari AP

  • Faham dan bisa mengapresiasi pentingnya melaksanakan analisis sistem yang menyeluruh sebelum merencanakan desain sistem

  • Faham akan dan bisa mengapresiasi manfaat analisis sistem dan desain, implementasi, evaluasi dan maintenance.

  • Faham akan proses evaluasi software sejalan dengan proposal sebelum menentukan sebuah sistem

  • Faham akan dan bisa mengapresiasi pentingnya pelatihan untuk staf dan keterlibatan mereka dalam seluruh proses kerja

Unsu-unsur Automasi Perpustakaan

Dalam sebuah sistem automasi perpustakaan terdapat beberapa unsur atau syarat yang saling mendukung dan terkait satu dengan lainnya, unsur-unsur atau syarat tersebut adalah :

1. Pengguna (users)

Pengguna merupakan unsur utama dalam sebuah sistem automasi perpustakan. Dalam pembangunan sistem perpustakaan hendaknya selalu dikembangkan melalui konsultasi dengan pengguna-penggunanya yang meliputi pustakawan, staf yang nantinya sebagai operator atau teknisi serta para anggota perpustakaan. Apa misi organisasi tersebut? Apa kebutuhan informasi mereka ? Seberapa melek komputerkah mereka? Bagaimana sikap mereka ? Apakah pelatihan dibutuhkan? Itu adalah beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam mengembangkan sebuah sistem automasi perpustakaan. Automasi Perpustakaan baru bisa dikatakan baik bila memenuhi kebutuhan pengguna baik staf maupun anggota perpustakaan. Tujuan daripada sistem automasi perpustakaan adalah untuk memberikan manfaat kepada pengguna.

Konsultasikan dengan pengguna untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan mereka. Namun perlu hati-hati terhadap penilaian keliru yang dilakukan oleh pengguna mengenai kebutuhan dan persepsi tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh suatu sistem komputer . Kebutuhan dapat dirincikan terlalu banyak atau terlalu sedikit dan kadang-kadang persepsi bisa juga keliru.

Staf yang bersangkutan harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan dan pelaksanaan sistem. Masukan dari masing-masing staf harus dikumpulkan untuk menjamin kerjasama mereka. Tenaga-tenaga inti yang dilatih untuk menjadi operator, teknisi dan adminsitrator sistem harus diidentifikasikan dan dilatih sesuai bidang yang akan dioperasikan.

2. Perangkat Keras (Hardware)

Komputer adalah sebuah mesin yang dapat menerima dan mengolah data menjadi informasi secara cepat dan tepat. Pendapat lain mengatakan bahwa komputer hanya sebuah komponen fisik dari sebuah sistem komputer yang memerlukan program untuk menjalankannya.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komputer adalah sebuah alat dimana kemampuanya sangat tergantung pada manusia yang mengoperasikan dan software yang digunakan.

Kecenderungan perkembangan komputer :

  • Ukuran fisik mengecil dengan kemampuan yang lebih besar

  • Harga terjangkau (murah)

  • Kemampuan penyimpanan data berkapasitas tinggi

  • Transfer pengiriman data yang lebih cepat dengan adanya jaringan

Dalam memilih perangkat keras yang pertama adalah menentukan staf yang bertanggung jawab atas pemilihan dan evaluasi hardware sebelum transaksi pembelian. Adanya staf yang bertanggung jawab adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pihak lain dan menghindari dampak buruk yang mungkin timbul. Hal lain adalah adanya dukungan teknis serta garansi produk dari vendor penyedia komputer.

3. Perangkat Lunak (Software)

Perangkat lunak diartikan sebagai metode atau prosedur untuk mengoperasikan komputer agar sesuai dengan permintaan pemakai. Kecenderungan dari perangkat lunak sekarang mampu diaplikasikan dalam berbagai sistem operasi, mampu menjalankan lebih dari satu program dalam waktu bersamaan (multi-tasking), kemampuan mengelola data yang lebih handal, dapat dioperasikan secara bersama-sama (multi-user).

Untuk mendapatkan software kini sudah banyak tersedia baik dari luar maupun dalam negeri dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan dan harga yang bervariasi. Di perpustakaan software yang dikenal antara lain CDS/ISIS, WINISIS yang mudah didapat dan gratis freeware dari Unesco atau dari beberapa perguruan tinggi sekarang telah banyak membuat dan mengembangakan sistem perpustakaannya sendiri seperti SIPUS 2000 di UGM, Sipisis di IPB. Masih banyak lagi perguruan tinggi dan institusi pengembang software yang mengembangkan SIP dengan kemampuan yang tidak kalah sip. Sistem Informasi Perpustakaan ini difungsikan untuk pekerjaan operasional perpustakaan, mulai dari pengadaan, katalogisasi, inventarisasi, keanggotaan, OPAC, pengelolaan terbitan berkala, sirkulasi, dan pekerjaan lain dalam lingkup operasi perpustakaan.

Kriteria Penilaian Software

Suatu software dikembangkan melalui suatu pengamatan dari suatu sistem kerja yang berjalan, untuk menilia suatu software tentu saja banyak kriteria yang harus diperhatikan. Beberapa criteria untuk menilia software adalah sebagai berikut :

  • Kegunaan : fasilitas dan laporan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan menghasilkan informasi tepat pada waktu (realtime) dan relevan untuk proses pengambilan keputusan.

  • Ekonomis : biaya yang dikeluarkan sebanding untuk mengaplikasikan software sesuai dengan hasil yang didapatkan.

  • Keandalan : mampu menangani operasi pekerjaan dengan frekuensi besar dan terus-menerus.

  • Kapasitas : mampu menyimpan data dengan jumlah besar dengan kemampuan temu kembali yang cepat.

  • Sederhana : menu-menu yang disediakan dapat dijalankan dengan mudah dan interaktif dengan pengguna

  • Fleksibel : dapat diaplikasikan di beberapa jenis sistem operasi dan institusi serta maupun memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

Menentukan Software

  • Membangun sendiri

  • Mengontrakan keluar

  • Membeli software jadi yang ada di pasaran

  • Pilihan apapun yang dijatuhkan, software harus ;

  1. Sesuai dengan keperluan

  2. Memiliki ijin pemakaian

  3. Ada dukungan teknis, pelatihan, dokumentasi yang relevan serta pemeliharaan.

  4. Menentukan staf yang bertanggungjawab atas pemilihan dan evaluasi software.

Memilih dan membeli perangkat lunak merupakan suatu proses tersedianya dukungan pemakai, karena diperlukan banyak pelatihan dan pemecahan masalah sebelum sistem tersebut dapat berjalan dengan baik. Salah satu cara untuk memastikan dukungan pelanggan adalah memilih perangkat lunak yang digunakan oleh sejumlah perpustakaan. Sekelompok besar pengguna biasanya menjustifikasikan layanan dukungan pelanggan sebagai hal yang subtansial. Selain itu, pengguna dapat saling membantu dalam pemecahan masalah.

Spesifikasi perangkat keras harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan minimum operasi perangkat lunak.

4. Network / Jaringan

Jaringan komputer telah menjadi bagian dari automasi perpustakaan karena perkembangan yang terjadi di dalam teknologi informasi sendiri serta adanya kebutuhan akan pemanfaatan sumber daya bersama melalui teknologi.

Komponen perangkat keras jaringan antara lain : komputer sebagai server dan klien, Network Interface Card ( LAN Card terminal kabel (Hub), jaringan telepon atau radio, modem.

Hal yang harus diperhatikan dalam membangun jaringan komputer adalah :

  • Jumlah komputer serta lingkup dari jaringan (LAN, WAN)

  • Lokasi dari hardware : komputer, kabel, panel distribusi, dan sejenisnya

  • Protokol komunikasi yang digunakan

  • Menentukan staf yang bertanggun jawab dalam pembangunan jaringan.

5. Data

Data merupakan bahan baku informasi, dapat didefinisikan sebagai kelompok teratur simbol-simbol yang mewakili kuantitas, fakta, tindakan, benda, dan sebagainya. Data terbentuk dari karakter, dapat berupa alfabet, angka, maupun simbol khusus seperti *, $ dan /. Data disusun mulai dari bits, bytes, fields, records, file dan database.

Sistem informasi menerima masukan data dan instruksi, mengolah data tersebut sesuai instruksi, dan mengeluarkan hasilnya. Fungsi pengolahan informasi sering membutuhkan data yang telah dikumpulkan dan diolah dalam periode waktu sebelumnya, karena itu ditambahkan sebuah penyimpanan data file (data file storage) ke dalam model sistem informasi; dengan begitu, kegiatan pengolahan tersedia baik bagi data baru maupun data yang telah dikumpulkan dan disimpan sebelumnya.

Standar basis data katalog

Kerjasama antar perpustakaan secara elektronik telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang telah memungkinkan untuk itu dan didasari adanya kebutuhan untuk menggunakan sumber daya bersama. Bentuk tukar-menukar maupun penggabungan data katalog koleksi adalah suatu hal yang sudah biasa terjadi dalam perpustakaan, kerjasama dapat dilakukan jika masing-masing perpustakaan itu memiliki kesamaan dalam format penulisan data katalog data. Persoalan yang sering dihadapi dalam kerjasama tukar-menukar atau penggabungan data adalah banyaknya data yang ditulis dengan suka-suka yaitu tidak memperhatikan standar yang ada. Pekerjaan konversi data merupakan hal yang membosankan dan memakan banyak waktu. Sering data katalog dalam perpustakaan tidak menggunakan standar, hal ini banyak terjadi karena kurangnya pemahaman akan manfaat standar penulisan data. Pertemuan-pertemuan mungkin perlu sering diadakan diantara anggota-anggota jaringan perpustakaan untuk menentukan standar-standar dan prosedur-prosedur yang digunakan bersama.

Persoalan lain dalam standardisasi format penulisan data katalog adalah bahasa. Kebanyakan perpustakaan mengkoleksi materi yang menggunakan bahasa pengantar berbeda-beda. Bagaimana dengan bahasa pengantar cantuman katalog itu sendiri? Informasi judul jelas harus diisi sesuai dengan judul koleksi yang bersangkutan. Bagaimana dengan kolom subjek dan kata kunci? Haruskah diisi dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia untuk perpustakaan di Indonesia) atau dengan bahasa internasional (Bahasa Inggris)? Lebih jauh lagi, bagaimana kita memberi nama pada kolom-kolom isian, dengan Bahasa Indonesia (judul, pengarang, penerbit, dsb.) atau bahasa Inggris (title, author, publisher etc.)? Bagaimana dengan koleksi yang berpengantar bahasa-bahasa lain seperti Arab, China atau Korea ?

Metadata

Metada merupakan istilah baru dan bukan merupakan konsep baru di dunia pengelola informasi. Perpustakaan sudah lama menciptakan metada dalam bentuk pengkatalokan koleksi .

Definisi metadata sangat beragam ada yang mengatakan “data tentang data” atau “informasi tentang informasi”, pengertian dari beberapa definisi tersebut bahwa metadata adalah sebagai bentuk pengindentifikasian, penjelasan suatu data, atau diartikan sebagai struktur dari sebuah data. Dicontohkan metadata dari katalog buku terdiri dari : judul, pengarang, penerbit, subyek dan sebagainya. Metada yang biasa digunakan di perpustakaan adalah Marc dan Dublin Core.

INDOMARC

Machine Readable Cataloging (MARC) merupakan salah satu hasil dan juga sekaligus salah satu syarat penulisan katalog koleksi bahan pustaka perpustakaan. Standar metadata katalog perpustakaan ini dikembangkan pertama kali oleh Library of Congress, format LC MARC ternyata sangat besar manfaatnya bagi penyebaran data katalogisasi bahan pustaka ke berbagai perpustakaan di Amerika Serikat. Keberhasilan ini membuat negara lain turut mengembangkan format MARC sejenis bagi kepentingan nasionalnya masing-masing.

Format INDOMARC merupakan implementasi dari International Standard Organization (ISO) Format ISO 2719 untuk Indonesia, sebuah format untuk tukar-menukar informasi bibliografi melalui format digital atau media yang terbacakan mesin (machine-readable) lainnya. Informasi bibliografi biasanya mencakup pengarang, judul, subyek, catatan, data penerbitan dan deskripsi fisik.

Indomarc menguraikan format cantuman bibliografi yang sangat lengkap terdiri dari 700 elemen dan dapat mendeskripsikan dengan baik kebanyakan objek fisik sumber pengetahuan, seperti jenis monograf (BK), manuskrip (AM), dan terbitan berseri (SE) termasuk; Buku Pamflet, Lembar tercetak, Atlas, Skripsi, tesis dan disertasi (baik diterbitkan ataupun tidak), dan Jurnal Buku Langka.

Dublin Core

Dublin Core merupakan salah satu skema metadata yang digunakan untuk web resource description and discovery. Gagasan membuat standar baru agaknya dipengaruhi oleh rasa kurang puas dengan standar MARC yang dianggap terlalu banyak unsurnya dan beberapa istilah yang hanya dimengerti oleh pustakawan serta kurang bisa digunakan untuk sumber informasi dalam web. Elemen Dublin Core dan MARC intinya bisa saling dikonversi.

Metadata Dublin Core memiliki beberapa kekhususan sebagai berikut:

  • Memiliki deskripsi yang sangat sederhana

  • Semantik atau arti kata yang mudah dikenali secara umum.

  • Expandable memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut.

Dublin Core terdiri dari 15 unsur yaitu :

  • Title : judul dari sumber informasi

  • Creator : pencipta sumber informasi

  • Subject : pokok bahasan sumber informasi, biasanya dinyatakan dalam bentuk kata kunci atau nomor klasifikasi

  • Description : keterangan suatu isi dari sumber informasi, misalnya berupa abstrak, daftar isi atau uraian

  • Publisher : orang atau badan yang mempublikasikan sumber informasi

  • Contributor : orang atau badan yang ikut menciptakan sumber informasi

  • Date : tanggal penciptaan sumber informasi

  • Type : jenis sumber informasi, nover, laporan, peta dan sebagainya

  • Format : bentuk fisik sumber informasi, format, ukuran, durasi, sumber informasi

  • Identifier : nomor atau serangkaian angka dan huruf yang mengidentifikasian sumber informasi. Contoh URL, alamat situs

  • Source : rujukan ke sumber asal suatu sumber informasi

  • Language : bahasa yang intelektual yang digunakan sumber informasi

  • Relation : hubungan antara satu sumber informasi dengan sumber informasi lainnya.

  • Coverage : cakupan isi ditinjau dari segi geografis atau periode waktu

  • Rights : pemilik hak cipta sumber informasi

6. Manual

Manual atau biasa disebut prosedur adalah penjelasan bagaimana memasang, menyesuaikan, menjalankan suatu perangkat keras atau perangkat lunak. Prosedur merupakan aturan-aturan yang harus diikuti bilamana menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak. Banyak peripheral perangkat keras maupun sistem tidak berjalan dengan optimal karena dokumentasi yang tidak memadai atau pengguna tidak mengerti manual yang disediakan. Manual harus dibaca dan dimengerti walau serumit apapun. Manual adalah kunci bagi kelancaran sistem.

Manual / prosedur dapat juga mencakup kebijakan-kebijakan khususnya dalam lingkungan jaringan dimana pemasukan dan pengeluaran data membutuhkan format komunikasi bersama. Pertemuan-pertemuan mungkin perlu sering diadakan diantara anggota-anggota jaringan untuk menentukan standar-standar dan prosedur-prosedur.

Kesimpulan

Unsur dan syarat automasi perpustakaan ada banyak. Biasanya, pustakawan berharap terlalu banyak dari sistem ini dan oleh karenannya merasa kecewa bilamana sistem tersebut tidak bekerja seperti yang diharapkan. Untuk memastikan adanya keberhasilan dalam automasi perpustakaan dibutuhkan kerjasama yang optimal dan berkelanjutan diantara pengguna sehingga tercipta kepuasan diantara pengguna, suatu penilain mendalam mengenai kebutuhan-kebutuhan pengguna harus dilakukan sebelum rencana detail untuk automasi dilakukan. Perlu tersedianya staf (pustakawan, operator, teknisi/administrator) yang terlatih. Seluruh anggota staf harus mengerti tentang sistem automasi perpustakaan.

Daftar Pustaka

  1. Materi TOT Technologi Information & Communication oleh Unesco dan Pusnas RI di Yogyakarta 1999

  2. Konsep, Desain dan Implementasi Perpustakaan Elektronik : Integrasi Perpustakaan Terotomasi dan Perpustakaan Digital Untuk Perpustakaan Nasional di Indonesia Oleh: Ismail Fahmi

  3. Model Implementasi Protokol OAI dalam IndonesiaDLN dan Hubungannya dengan Digital Library di Luar Negeri oleh Rurie Muharto

Bottom of Form


Ikhwan Arif

iwan@lib.ugm.ac.id

Koordinator TI Perpustakaan UGM

Makalah Seminar dan Workshop Sehari “ Membangun Jaringan Perpustakaan Digital dan Otomasi Perpustakaan menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan “ UMM 4 Oktober 2003