Keluarga Pahlawan

Sunday, August 30, 2009

Keluarga Pahlawan

Perenungan yang mendalam terhadap sejarah akan mempertemukan kita dengan satu kenyataan besar; bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan. Pada skala peradaban, kita menemukan, bahwa setiap bangsa mempunyai giliran merebut piala kepahlawanan. Di dalam komunitas besar sebuah bangsa, kita juga menemukan bahwa suku-suku tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan. Dan dalam komunitas suku-suku itu, kita menemukan, bahwa keluarga-keluarga atau klan-klan tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan itu.
Bangsa Arab, misalnya, pemah merebut piala peradaban. Tapi dari sekian banyak suku-suku bangsa Arab, suku Quraisy adalah salah satu yang pemah merebut piala itu. Dan dari perut suku Quraisy, keluarga Bani Hasyim, darimana Rasulullah SAW berasal, adalah salah satu klan yang pemah merebut piala itu.
Pada saat sebuah Marga atau klan melahirkan pahlawan-pahlawan bagi suku atau bangsanya, biasanya dalam keluarga itu berkembang nilai-nilai kepahlawan yang luhur, yang diserap secara natural oleh setiap anggota keluarga begitu ia mulai menghisap udara kehidupan. Kepahlawanan dalam klan para pahlawan biasanya terwariskan melalui faktor genetik, dan juga pewarisan atau sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan itu. Apabila seorang pahlawan besar muncul dari sebuah keluarga, biasanya pahlawan itu secara genetis mengumpulkan semua kebaikan yang berserakan pada individu-individu yang ada dalam keluarganya.
Khalid Bin Walid, misalnya, muncul dari sebuah klan besar yang bemama Bani Makhzum. Beberapa saudaranya bahkan lebih dulu masuk Islam dan cukup berjasa bagi Islam. Tapi kebaikan-kebaikan yang berserakan pada saudara-saudaranya justru berkumpul dalam dirinya. Maka jadilah iayang terbesar. Umar Bin Khattab juga berasal dari klan yang sama dengan Khalid Bin Walid. Umar juga mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang berserakan di tengah individu-individu keluarganya. Maka jadilah ia yang terbesar.
Tetapi diantara Khalid dan Umar terdapat kesamaan-kesamaan yang menonjol. Keduanya memiliki kesamaan pada bangunan fisik yang tinggi dan besar, serta wajah yang sangat mirip. Lebih dari itu kedua pahlawan mukmin sejati itu juga memiliki bangunan katakteryang sama, yaitu keprajuritan. Mereka berdua sama-sama berkarakter sebagai prajurit militer, Pahlawan-pahlawan musyrikin Quraisy yang berasal dari klan Bani Makhzum juga memiliki kemiripan dengan Umardan Khalid. Misalnya, Abu jahal. Bahkan putera Abu Jahalyang bemama Ikrimah bin Abi Jahal, sempatmemimpin pasukan musyrikin Quraisy dalam beberapa peperangan melawan kaum muslimin, sebelum akhimya memeluk Islam. Kenyataan yang sama seperti ini juga terjadi pada keluarga-keluarga ilmuwan atau ulama, pemimpin politik atau sosial, keluarga pengusaha, dan seterusnya. Keluarga adalah muara tempat calon-calon pahlawan menemukan ruang pertumbuhannya.
Walaupun tetap menyisakan perbedaan pada kecenderungannya, Abbas Mahmud AI-Aqqad, yang menulis biografi kedua pahlawan jenius itu, mengatakan bahwa keprajuritan pada Umar bersifat pembelaan, tapi pada Khalid bersifat agresif. Agaknya ini pula yang menjelaskan, mengapa Khalid lebih tepat memimpin pasukan ekspansi, dan Umar lebih cocok memimpin negara. Pada kedua fungsi itu kecenderungan pada garis karakter keduanya terserap secara penuh, maka mereka masing-masing mencapai puncak.

Sumber: milis keadilan4all, kiriman Raksa (Kanebo) [raksa@kitxxxxxx]
Oleh: M. Anis Matta, Lc.
Hudzaifah Trisakti oآ­nline - Jakarta, Posted by: Admin
on Thursday, September 11, 2003 - 08:50

Mari Menonton Sambil Berpikir Lewat Film Intelek

Mari Menonton Sambil Berpikir Lewat Film Intelek

Kalau kita berkaca pada karakter penonton Indonesia, maka sesungguhnya telah tergambar jelas film seperti apa yang kebanyakan mereka sukai. Dalam beberapa tahun terakhir periode kebangkitan perfilman Indonesia, film yang banyak menghiasi layar lebar tanah air tidak jauh dari film bertema cinta atau komedi seputar kehidupan remaja, serta genre horor yang seolah tak pernah habis diproduksi sepanjang tahun. Intinya, kecenderungan yang ada adalah para produser berlomba-lomba membuat film yang sesuai dengan selera pasar (mainstream).
Hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena bila dikaitkan dengan kondisi perekonomian Indonesia yang baru pulih, bisnis perfilman membutuhkan stimulus lewat dukungan para penontonnya agar dapat pulih kembali dari mati surinya. Walhasil, kebanyakan film-film Indonesia pun lebih banyak dijejali dengan tema-tema cerita yang ringan, mengedepankan unsur hiburan, monoton dan yang patut disayangkan, turut kehilangan kecerdasannya.
Sesungguhnya tidak ada yang salah jika penonton Indonesia kebanyakan lebih menyukai film yang lebih entertaining dibandingkan film-film bertema serius. Jangan salahkan pula bila mereka lebih prefer ke film-film popcorn khas Hollywood dibanding art film keluaran Eropa misalnya, toh penonton pastinya tidak mau ambil pusing dengan alur cerita njelimet yang ujung-ujungnya hanya membuat kita pusing dan menggerutu. Selama film ringan yang dimaksud tersebut mampu menyeimbangkan unsur komersial dan kualitas sehingga melahirkan tontonan yang bermutu, tentunya hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi kenyataan di lapangan justru berkata lain.
Sebagian besar film yang membanjiri bioskop-bioskop negeri baik produksi anak bangsa maupun dari luar semacam Hollywood adalah film-film komersial berkualitas cetek dengan tema cerita yang itu-itu saja. Yang lebih parah lagi, film-film intelek “kelas berat” yang notabene sudah diakui di berbagai ajang penghargaan malah dipandang sebelah mata dan terlihat dinomorduakan. Kalau penonton ngotot untuk lebih memilih film yang mampu menyajikan unsur art dan entertainment secara balance, hal ini tentu bukan perkara mudah. Menggabungkan unsur idealisme dengan nilai bisnis bagaikan mencampur air dengan minyak, seringkali terjadi benturan dan pertentangan. Berapa banyak sich film sekelas Lord of the Rings trilogi atau Gladiator yang dirilis setiap tahunnya? Lantas mau dikemanakan film-film intelek yang saya maksudkan tadi?
Lewat tulisan ini, saya akan mencoba membuka wacana berpikir bagi penonton awam bagaimana nikmatnya menonton sambil berpikir serta menangkap esensi yang terkandung dalam film-film intelektual. Dengan melihat lebih dalam akan nilai-nilai filosofis yang tersirat dalam sebuah film serta membuka mata akan eksistensi film-film yang bersifat non-linear, diharapkan agar penonton dapat memperoleh cara pandang baru dalam melihat dan menilai film. Film dalam konteks bukan sekedar media hiburan, tetapi kembali ke akarnya sebagai wadah seni untuk berekspresi serta memperoleh apresiasi sejati dari penontonnya.
Mengenal Film Intelek Lebih Dekat
Bila anda sering mengikuti berita seputar film beberapa bulan belakangan ini, maka film berjudul Crash tentunya tidak begitu asing di telinga anda. Sedikit menyegarkan ingatan, Crash baru saja dinobatkan sebagai film terbaik Oscar pada awal Maret lalu lewat sebuah kemenangan tak terduga. Bagi yang sudah menontonnya, pasti akan setuju jika Crash dikategorikan sebagai film intelek, film serius, film non linear, non mainstream atau apalah namanya. Satu hal yang pasti, meski film ini dipuji banyak kritikus, namun ternyata ia tidak begitu populer di mata penonton awam, apalagi di Indonesia. Crash adalah salah satu contoh dari sekian banyak film cerdas yang pada akhirnya terlupakan hanya karena banyak penonton kita yang tidak cukup cerdas untuk dapat menikmati tontonan berkelas ini.
Bila kita menonton film intelek dan sejenisnya, maka tiga komentar yang paling merepresentasikan reaksi penonton setelah menyaksikannya adalah (1) membosankan; (2) memusingkan dan (3) melelahkan. Pemikiran-pemikiran seperti ini terbilang logis karena untuk dapat menikmati—atau bahkan memaknai—suatu film yang kompleks secara sempurna memang bukan perkara mudah. Bila kita sebagai penonton tidak cukup jumawa dalam menafsirkan apa yang ditontonnya, kendala-kendala di atas pastinya akan sulit diatasi.
Saya sepenuhnya setuju dengan komentar Ekky Imanjaya sebagaimana termuat dalam artikelnya yang berjudul Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial?—bahwa sesungguhnya upaya penafsiran makna sebuah film berada sepenuhnya di tangan penonton. Dan oleh karenanya, sebuah film baru pantas disebut intelektual jika penontonnya pun cukup cerdas untuk memaknainya. Singkatnya, film intelek butuh penonton yang juga intelek untuk bisa eksis.
Film intelek adalah film yang membutuhkan kematangan dan kedewasaan berpikir dari penontonnya. Bila kita melihat perkembangan dan sejarahnya, film seperti ini lebih banyak tumbuh dan berkembang di negara-negara Eropa. Perfilman Eropa sendiri terkenal dengan iklim budayanya yang begitu mengakar, lebih bebas dan ekspresif.
Dengan iklim perfilman yang lebih bebas ini kemudian memicu lahirnya berbagai aliran/budaya film yang lebih ekspresionis dalam bertutur dan cenderung melawan arus (non-mainstream) dari pakem yang telah ditetapkan dalam membuat film konvensional. Hal ini pernah dilakukan oleh Orson Welles di Hollywood tahun 1940 ketika membuat Citizen Kane serta karya-karya spekulatif Stanley Kubrick. Mereka-mereka yang menjadi kreatornya adalah para pekerja seni yang masih murni mengedepankan mutu di atas segala-galanya. Di Eropa sendiri, kemudian lahir sineas-sineas jenius yang banyak menelurkan film-film masterpiece dan monumental. Para pekerja seni inilah yang membubuhkan identitas yang melekat kuat dalam film-film Eropa yang terkenal jamak melahirkan film-film intelek “kelas kakap”.
Bila kita sepakat mengenai hal di atas, maka nama-nama besar dedengkot film semacam Ingmar Bergman (Seventh Seal, Fanny and Alexander) ataupun Kryszytof Kieslowski (Dekalogue, Three Colors trilogy) rasanya tidak perlu diragukan lagi kualitas karyanya yang kental dengan simbolisme dan sangat filosofis. Di generasi kini ada nama Lars von Trier (Dogville), Alejandro Gonzales Inarritu (Amores Perrros) atau Pedro Almodovar (Talk to Her). Di Hollywood sendiri meki cenderung ngepop, namun masih ada sejumlah sineas underground yang tetap idealis seperti Quentin Tarantino (Pulp Fiction) yang nyentrik, Chritopher Nolan (Memento) dan yang lebih ekstrim seperti David Lynch (Mulholland Drive). Di Asia sendiri, nama Wong Kar-Wai (In the Mood for Love), si rabid dog Takashi Miike (Audition) serta Chan-Wook Park (Oldboy) adalah yang patut dikedepankan.
Kesemua sutradara tadi membuat film dengan lebih mengutamakan kepuasan batin mereka dibanding kepuasan pasar. Jadi jangan heran jika banyak karya mereka yang sulit dipahami dan butuh pemikiran ekstra untuk membongkar pesan-pesan tersembunyi dalam karya-karya mereka.
Ciri Khas Film Intelek
Bila anda jenis penonton yang telah terbiasa menonton film-film intelek atau bahkan sangat menikmatinya, maka pastinya anda sudah bisa menyadari bahwa ada semacam karakteristik yang melekat dibalik film berjenis ini. Bahkan bagi yang sudah banyak “makan garam”, hanya dengan melihat trailer-nya atau cover/judulnya saja sudah bisa ketahuan akan kemana arah film tersebut membawa penontonnya. Memang ada semacam pola yang identik dan seolah menjadi aturan tak tertulis dalam proses lahirnya jenis film yang satu ini. Ciri-ciri di bawah ini boleh dikata cukup mewakili seperti apa film intelek itu secara umum.
1. Gaya penggarapan/penyutradaraan yang sering tidak lazim dan kompleks, atau sering pula disebut dengan istilah non linear. Contoh: Memento (2000), Mulholland Dr. (2001).
2. Alur cerita yang umumnya tidak lurus, seringkali plot kisahnya menggunakan alur/dramalurgi flashback atau meloncat-loncat/maju-mundur. Dalam beberapa kasus malah ada film yang sangat susah dicerna proses loncatan waktu dalam ceritanya. Contoh: In My Father’s Den (2004) dan semua film arahan Quentin Tarantino.
3. Mengangkat tema cerita yang mengutamakan orisinalitas dan jarang diangkat ke muka umum. Seringkali cerita bahkan dibawa ke tingkat yang lebih ekstrim, nekat hingga mengundang kontroversi. Contoh: Irreversible (2003), Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004).
4. Karena kebanyakan dianggap kurang memiliki nilai jual, maka film sejenis ini diproduksi dan dirilis dengan dana/bujet berskala kecil (independen) dan lebih banyak “bergerilya” di ajang festival film dengan pemutaran terbatas ketimbang berkeliaran di bioskop-bioskop besar. Contoh: Donnie Darko (2001), Sideways (2004).
5. Ending adalah kunci dari film berjenis ini dan sekaligus yang sering dikeluhkan oleh penonton awam. Endingnya terkadang begitu mengejutkan, terkadang pula menggantung serta giat membubuhkan “tanda koma” di akhir film. Ending seperti ini tidak langsung memberikan kesimpulan/solusi, melainkan membiarkan penonton mencari jalan keluarnya sendiri. Dalam beberapa kasus yang menjengkelkan, film malah tidak memberi jalan sama sekali untuk menemukan jawaban. Contoh: Rashomon (1950), 2001: A Space Odyssey (1968).
6. Banyak memasukkan unsur simbolisasi, abstrak dan hal yang bersifat humaniora ke dalam gambar dan cerita. Film seperti ini biasanya memaksa kita untuk menonton film tersebut lebih dari sekali. Contoh: Red (1994), 3-Iron (2004).
7. Aktif melancarkan pesan-pesan bertema sosial serta kritik tajam seputar tatanan sosial. Contoh: Ghost World (2000), Elephant (2003).
Bagaimana Menikmati Film Intelek
Menikmati film intelek sesungguhnya memiliki keasyikan tersendiri, terutama bagi anda yang telah terbiasa menikmatinya. Bagi penonton yang lebih sering menikmati film-film yang lebih “normal”, mungkin inilah saatnya bagi anda untuk menjajal sesuatu yang baru dalam menonton film. Sedikit berpikir saat menonton tentu bukan sesuatu yang buruk khan? Beberapa tips di bawah ini saya pikir patut disimak bagi anda para penonton pemula.
1. Bila ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa setiap perbuatan itu dinilai dari niatnya, maka demikian halnya dalam menonton film intelek. Pertama anda harus punya niat dan kemauan yang kuat untuk menikmatinya. Siapkan otak anda untuk berpikir karena ini bukan film yang bisa ditonton sambil makan popcorn.
2. Sebelum anda menonton, ada baiknya jika anda terlebih dahulu membaca ulasan/preview film yang akan ditonton. Bukan apa-apa, terkadang menonton film seperti ini tidaklah mudah. Setidaknya anda sudah tahu bagaimana dan akan kemana film ini mengarahkan penontonnya. Tapi awas, jangan sampai merusak kenikmatan anda dengan membaca spoiler, karena spoiler inilah yang menjadi musuh besar seorang penikmat film.
3. Jika film intelek yang anda tonton tergolong kategori “benar-benar berat”, ada baiknya bila anda menonton sambil didampingi oleh orang yang lebih berpengalaman, setidaknya oleh orang yang sudah pernah menonton film tersebut sebelumnya. Jadi kalau anda menemui jalan buntu dalam memahami cerita, partner anda ini bisa mengarahkan anda agar tidak terjebak ke “dark side”. Tapi (lagi-lagi) awas, jangan sampai si partner keceplosan hingga membocorkan kejutan yang akan muncul. Maklum, inilah kebiasaan penonton yang terkadang sok tau.
4. Setelah menonton filmnya, hal yang paling bijak dilakukan oleh seorang penonton film adalah membuka diskusi atau bedah film bersama orang yang sudah menontonnya. Terkadang ada sejumlah film yang mengandung makna yang multi tafsir. Oleh karenanya lewat diskusi film, kita bisa sharing pendapat sehingga bukan tidak mungkin diperoleh tafsiran baru akan makna yang sebelumya tidak kita ketahui.
5. Membaca review dari para kritikus film. Kritikus film adalah penonton yang paling bijak karena mereka melihat film secara mendalam dan menyeluruh. Jadi tidak perlu ragu untuk membandingkan hasil penafsiran anda dengan ulasan mereka yang banyak dimuat di berbagai media cetak dan internet.
6. Kalau anda masih belum mengerti juga makna dari film yang anda tonton, jangan pernah ragu untuk menontonnya sekali lagi, dua kali bahkan berkali-kali sampai anda mengerti. Semakin anda membiasakan diri menonton film semacam ini, maka semakin mudah anda memahaminya. Sesungguhnya kemampuan kita untuk memahami suatu hal terbentuk dari pengalaman dan kebiasaan. Sekali lagi, jangan ragu untuk tonton dan tonton lagi!
Kesimpulannya, perlu ada perubahan dalam hal budaya menonton film di negara kita. Penonton kita sudah terlalu banyak dijejali dengan tontonan sinetron yang tidak logis dengan tema cerita yang sudah basi. Tontonan seperti ini sesungguhnya bukan pilihan yang tepat untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat kita. Yang paling saya khawatirkan, jangan sampai cara bertutur “dagang mimpi” ala sinetron ini turut merambah dunia perfilman kita yang baru bangkit. Bisa-bisa dunia baru yang telah dibangun para sineas muda kita jatuh ambruk lagi seperti awal tahun 1990-an gara-gara kemonotonan produksi film di masa itu.
Namun saya bersyukur karena masih ada sejumlah sineas kita—walaupun sedikit jumlahnya—yang tetap mempertahankan idealismenya seperti Nia Dinata (Berbagi Suami), Riri Riza (GIE) dan sutradara panutan saya, Garin Nugroho (Daun di Atas Bantal). Lewat tangan emas mereka, film intelek akan tetap hadir mewarnai belantika perfilman Indonesia. Film yang mengajak kita untuk lebih peka dan berpikir kritis di tengah langkanya tontonan bermutu di tanah air.

· Artikel ini dibuat sebagai bentuk keprihatinan penulis terhadap budaya menonton film di negaranya.
Oleh: Imam Budiman

Benarkah Indonesia Sudah Merdeka?

Benarkah Indonesia Sudah Merdeka?

Indonesia Merdeka pada tahun 1945 dengan umur sudah 64 tahun Indonesia Merdeka sejak Proklamasi dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Arti kemerdekaan sangat luas dan membuat kehidupan yang ideal, demokrasi, dan adanya kesejahteraan rakyat.
Tapi generasi demi generasi perubahan di Indonesia bisa dibilang sangat riskan dan menonjol sekali, umpanya di sektor Hukum, Pendidikan, Infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan tinggi perokonomian Indonesia membuat seperti dulu ke irama kehidupan penjajahan yang harus membayar pajak dengan tinggi. Harga pangan naik, kebutuhan fital melambung tinggi, tapi nilai rupaih jatuh, banyaknya pengangguran dimana-mana, keterpurukan mental bangsa bisa dibilang hampir semua sektor lini kehidupan terjadi perubahan yang signifikan tapi mengarah ke arah negatif.
Dengan adanya kronoligis diatas inikah namanya yang Merdeka, belum bisa keluar dari belenggu penjajahan yang sifatnya tidak langsung tapi dengan perbuatan halus dilapangan. Padahal moment dari Merdeka adalah adanya satu sistem hubungan timbal balik dengan pemerintah, tapi apa hendak dikata semua itu sudah menjadi bubur dan kenangan saja, makanya banyak tidak ambisi lagi melihat keadaan Indonesia saat ini. Melihat perjuangan para pejuang kita dahulu rela mati demi bangsa, mereka tinggalkan harta benda, sanak saudara harus berperang, bergerilya, penuh kesedihan, penuh dengan lautan api dan darah, demi berkibarnya Bendera Merah Putih di Tanah Pertiwi kita.
Moment kemerdekaan itu sudah hilang terkikis dengan perubahan jaman yang semakin canggih, lupa semua detik-detik proklamasi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai sejarah yang ada. Tahun entah apa yang menjadi tema dari Bapak Presiden kita untuk rakyat Indonesia, SBY sendiri bingung melihat banyak tangisan dimana-mana, adanya bencana alam, Tsunami, dan masih banyak lagi hal lain yang memilukan seluruh bangsa. Semogalah di tahun ini sejak sudah merdeka membawa nuansa baru di tanah air kita, lebih mengenal lagi, adanya memiliki, cinta akan kedamian, menjalin persatuan dan kesatuan, lebih profesional para petinggi kita.
Saya rasa dengan menjalankan sebagaian apa yang sudah terjadi saat ini menuju adanya perubahan yang radikal inilah yang disebut negara merdeka. 17 Agustus 2006 yang akan datang mengulang dan mengenang kembali perjuangan putra-putri bangsa, kita hening sejenak untuk mereka, kita lawat mereka dengan doa, kita kenang mereka dengan bukti sejarah yang ada, tapi tidak heran sekarang ini bukti sejarah (bagunan) sudah di jadikan ladang bisnis, kejam sekali semua itu.
Merdeka salah satu kata yang luar biasa artinya adanya kebebasan yang berbangsa dan bernegara, dalam konteks ini bebas dalam artian tetap dilindungi oleh hukum yang ada, tidak terjadi lagi adanya pengobok-obokan politik, orang jujur jarang kita jumpai, kurangnya mendengar kontribusi dari rakyat. Semua menjadi satu rantai kehidupan disebuah negara yang majemuk, soalnya masyarakat Indonesia terkungkung dengan tidak adanya koordinasi yang kurang profesional diberbagai kalangan dan sektor pemerintah ataupun swasta.
Kurangnya animo masyarakat akan kemerdekaan berakibatkan membawa irama yang kurang baik, tugas dari orang yang merdeka sebagai pilar bangsa harus menjadi teladan, arif dan bijaksana, soalnya mengenang 17 Agustus ini bukanlah acara seremonial biasa tapi salah satu hari yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia.
Dengan hari kemerdekaan ini bangsa Indonesia tidak melihat lagi titik-titik kehancuran dengan kembalinya ke irama penjajahan yang nyata-nyatanya dilihat para mata rakyat yang jeli akan berbangsa dan bernegara.
Mari bergandengan tangan untuk menjungjung tinggi nilai bangsa kita, jangan dijadikan ajang keberhasilan pribadi, seandainya Indonesia ini manusia dan orang tua kita pasti dia menangis dan berkata mau dibawa kemana bangsa ini..?
Sedikit banyaknya saya utarakan kepada pembaca yang baik, agar saling memerdekakan bangsa ini dengan cara apapun, peganglah merah putih jadikan selimut disaat anda kedinginan. Maju terus Indonesia sejajarkan dirimu dengan negara lain yang benar-benar merdeka, pantang surut, kembangkan merah putihmu kebelahan dunia.

http://www.pintunet.com/member.php?name=Arpin

Mahasiswa dan Rekayasa Sosial

Tuesday, August 25, 2009

Mahasiswa dan Rekayasa Sosial
Oleh :Wurianto Saksomo

“Kita harus membaca situasi sekarang ini dengan semangat bagaimana memanfaatkannya sebagai momentum untuk kemajuan-kemajuan baru, lompatan-lompatan baru, bagi kepentingan strategis dan sejarah dakwah “
(Ust. Anis Matta Lc, dalam Menikmati Demokrasi)
Problem Sosial
Sebelum kita melangkah untuk membahas rekayasa sosial maka biasanya orang harus mengetahui dulu apa itu problem sosial, karena adanya rekayasa sosial itu didahului timbulnya problem-problem (masalah) sosial. Problem adalah sebuah kondisi di mana terjadi perbedaan antara apa yang kita inginkan (das Sollen) dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan (das Sein). Kita menginginkan cepat lulus kuliah namun kenyataannya skripsi tidak kelar-kelar, atau kita ingin segera mengakhiri masa lajang, namun apa daya ternyata proposal ditolak terus. Akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan realita.
Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 dimensi yakni bertaraf individu dan bertaraf sosial. Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat. Misalnya seseorang pemuda yang ditolak lamarannya oleh orang tua sang gadis yang telah diincarnya karena dianggap masih menganggur. Si pemuda masih menganggur disebabkan memang malas mencari duit, jadi ini adalah masalah personal dari yang bersangkutan. Atau seseorang yang ditolak untuk menjadi penyanyi oleh produser rekaman karena suaranya memang hanya merdu kala di kamar mandi saja.
Sebaliknya masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif). Ada 3 problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan konflik.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting. Ada istilah lain yang diberikan oleh para ilmuwan tentang perubahan sosial, yang substansinya sama atau hampir sama. Less dan Presley menyebutnya social engineering, MN Ross mengatakannya social planning (perencanaan sosial), dan Ira Kaufman mengistilahkannya dengan change management (manajemen perubahan). Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan istilah rekayasa sosial dan ini yang kita bahas.
Menurut sosiolog terkenal, Max Weber, penyebab utama perubahan adalah ideas atau pandangan. Tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar idelogi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat. Penyebab kedua adalah tokoh-tokoh besar. Menurut Thomas Carlyle sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar. Perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, dan kemudian mereka bersama-sama melakukan perubahan di dalam masyarakatnya. Perubahan sosial yang ketiga terjadi karena adanya gerakan sosial (social movement) seperti yang dilakukan LSM.
Aksi Sosial
Setelah mengetahui problem sosial yang terjadi dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah aksi sosial. Aksi sosial diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengurangi atau menghilangkan masalah sosial. Aksi sosial mengandung lima unsur (5C), yakni cause, change agency, change target, channel, dan change strategy. Cause atau sebab, ini berkaitan dengan misi, motif, atau tujuan. Setiap problem sosial membutuhkan sejumlah pemecahan atau solusi yang beragam. Ada 3 sebab atau alasan untuk turun dalam dataran aksi yakni membantu (helping), memprotes (reform), dan menghancurkan (destroy/revolusi). Saat ini revolusi menjadi wacana yang sedang naik daun di kalangan gerakan mahasiswa. Revolusi adalah motor penggerak sejarah, demikian pendapat Karl Marx. Secara definitif ia diartikan sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah.
Rekayasa sosial di mana pun tempatnya dan kapan pun masanya selalu membutuhkan aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2 kelompok besar di balik upaya rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters). Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah para simpatisan.
Sasaran perubahan menurut Jalaludin Rakmat dalam bukunya Rekayasa Sosial ada 2 yaitu pertama sasaran akhir, berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran antara seperti masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.
Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah chanel atau saluran yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media interpersonal.
Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasarn perubahan. Ada tiga alternatif strategi : memaksa (power strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).
Gerakan Mahasiswa
Tampaknya berbicara mengenai rekayasa atau perubahan sosial menjadi tidak adil jika tidak membicarakan (ngrasani) mahasiswa. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa menjadi kekuatan dahsyat untuk merubah kondisi di negeri ini sejak dulu. Jaman pergerakan kemerdekaan (masa 1908, 1928, dan 1945), penjungkalan Orde Lama, Peristiwa Malari, aksi-aksi protes terhadap kebijakan NKK/BKK, tumbangnya Eyang Soeharto, dan sebagainya cukup menjadi bukti. Mahasiswa sejak dulu, kini, dan sampai kapan pun selalu berpeluang untuk berada pada posisi terdepan dalam proses perubahan masyarakat sehingga pantaslah jika ia mendapatkan sandang sebagai kelompok pembaharu. Orang sering mengatakannya dengan gerakan moral yang tidak berambisi menduduki jabatan kenegaraan tertentu atau tanpa pamrih.
Menurut Arbi Sanit ada 2 peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas gerakan mahasiswa. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.
Namun demikian perjalanan gerakan mahasiswa tidak berjalan mulus begitu saja, karena pihak penguasa selalu khawatir akan protes-protes perlawanan mahasiswa terhadap kebijakannya yang tidak pro rakyat. Karena itulah pihak penguasa melakukan intervensi ke dalam kampus. Penguasa menyadari bahwa kampus sebagai pembaharu masyarakat, sebagai sumber daya politik, dan mempunyai watak kemandirian yang menumbuhkan sikap kritis. Akibat intervensi dari negara tersebut (terutama dengan dikeluarkannya NKK/BKK, yang walau sudah dicabut namun dampaknya masih terasa) menimbulkan 3 hal. Pertama, terasa kuatnya tekanan terhadap pertumbuhan daya kreativitas warga kampus. Kedua, intervensi birokrasi departemen yang mendalam telah menjadikan para pimpinan unit universitas menjadi semacam “Raja Kecil”. Ketiga, tumbuhnya gejala apatisme sebagai kelanjutan perpaduan kedua hal di atas.
Menghadap kenyataan seperi itu ada 2 pilihan yang harus dilakukan oleh para mahasiswa sebagai bagian dari warga kampus. Mahasiswa akan mengundurkan diri ke “dunia dalam” yang bersifat pribadi dan cenderung pragmatis tanpa mau memperhatikan keadaan yang terjadi di sekitarnya ataukah mahasiswa justru keluar dari “dunia dalam” dan memberontak melawan ketidakadilan.
Gerakan KAMMI
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dilahirkan dan dibidani oleh para aktivis dakwah kampus yang dikenal sebagai kader tarbiyah. Gerakan tarbiyah sendiri ditengarai menyemaikan bibitnya pada awal-awal tahun 80-an dan semakin marak pada dekade 1990-an hingga sekarang. Sumber referensi yang dijadikan bahan kajian adalah gerakan Ikhwanul Muslimin.
Di kota Malang pada bulan Maret 1998 KAMMI dideklarasikan dan sejak itulah sejarah gerakan mahasiswa memberikan tempat terhormat kepada KAMMI terutama sejarah gerakan ’98 (meminjam ungkapan Anas Urbaningrum, mantan Ketua PB HMI). Ada sebuah fenomena unik pada gerakan mahasiswa yang baru berusia “balita” ini yakni pertemuan 2 variabel di dalam gerakannya yang menjadi potensi kekuatan, yaitu masjid dan kampus. Masjid menyimbolkan adanya kekuatan moralitas sedangkan kampus sarat dengan nilai-nilai intelektualitas. KAMMI memang bermula dan tumbuh dari masjid, muncul dari masjid kampus, dan bergerak di masjid kampus.
Peran Kita
KAMMI sebagai gerakan mahasiswa yang berusia sangat muda tentu saja masih memerlukan pembenahan serta polesan-polesan indah dari para kadernya agar semakin cantik dan menawan bagi setiap orang. Kalau kita mengibaratkan seorang anak kecil yang berusia empat tahun lebih, ia adalah bocah lugu dan lucu yang membuat gemas, yang membikin orang-orang dewasa ingin mencubit pipinya yang tembem. Ia masih memerlukan penataan. Tugas kita bersama untuk melakukannya.
Setiap kader ketika menghadapi realita temperatur kondisi negara yang semakin panas ini diharapkan mempunyai bekal pengetahuan. Setiap kita hendaknya menggabungkan antara pengetahuan yang komprehensif yang memberikan wawasan makro serta memberikan efek integralitas dan pengetahuan yang spesialis yang mengacu pada kedalaman serta memberi efek ketepatan. Hal ini memang membutuhkan kesungguhan, keseriusan, dan kesabaran yang melelahkan. Ustadz Anis Matta memberikan ciri-ciri tradisi ilmiah untuk memperkuat gerakan, di antaranya selalu membandingkan pendapat, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana ide-ide, tidak pernah merasa berilmu secara permanen, menyenangi hal yang baru dan menyukai tantangan, selalu melahirkan gagasan-gagasan baru secara pruduktif, dan lain-lain.
Gerakan kita sungguh membutuhkan tradisi konstruktif seperti itu, apalagi dengan konsep kaderisasi siyasi yang masih memerlukan alternatif interprestasi untuk kemudian diterapkan dalam aplikasi. Meminjam ungkapan Ust. Anis, barangkali di hadapan kita saat ini ada sebuah celah sejarah yang diciptakan oleh masa transisi. Kita mempunyai peluang dan sekaligus juga tantangan untuk mengisi celah sejarah itu dengan gagasan dan amalan kita. Dan di dalam setiap penciptaan sejarah tersebut akan lahir tokoh-tokoh besar dan berhati besar.
Untuk mewujudkan segala apa yang kita cita-citakan itu tidak mungkin berjalan dengan sekejap saja atau seketika. Semua diawali dari hal-hal yang kecil (menurut Aa’ Gym lho). Maka itu paling tidak ada 3 hal yang harus kita lakukan, yaitu banyak membaca baik membaca tekstual maupun fenomena, berinstitusi (membentuk komunitas) karena sebuah kerja besar sangat berat untuk dikerjakan sendirian, dan pembiasaan (kulturisasi) sehingga orang lain akan mengikuti apa yang kita lakukan.
KAMMI mungkin saat ini sedang hamil tua untuk melahirkan manusia-manusia besar yang menentukan dan mewarnai pernak-perniknya. Dan saya berharap itu adalah KITA.
Catatan Akhir
Untuk melakukan proses rekayasa sosial yang lebih besar di dunia masyarakat maka dibutuhkan energi dan perencanaan yang sangat matang, karenanya penataan internal di dalam sebuah gerakan itu sendiri dan juga upaya kaderisasi harus selalu menjadi prioritas pemikiran. Mulailah dari diri sendiri, mulailah sekarang ini, dan mulailah dari hal-hal yang kecil dengan senantiasa tidak melupakan senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
“Dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategis. Generasi ‘ideolog’ telah melakukan tugas mereka dengan baik. Mereka telah membangun basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah.” (Ust Anis Matta, Lc dalam Menikmati Demokrasi)

Wallahu a’lam bish shawab

Maroji’ :
Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, Jakarta, Pustaka Saksi, 2002
Rahmat, Andi., dan Mukhammad Najib, Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus, Surakarta, Purimedia, 2001
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999
Scocpol, Theda, Negara Dan Revolusi Sosial, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1991

(hanif_hamzah)

Saatnya Membangun Manusia Indonesia

Saatnya Membangun Manusia Indonesia

Selalu kita berada dalam garis pesimistis setiap memulai bicara soal kualitas manusia Indonesia. Seolah bangsa ini sudah tidak bisa lagi digerakkan untuk maju bertumbuh menjawab berbagai tantangan masa depan dalam dunia global ini.
Terlebih lagi ketika hampir seluruh prestasi yang dulu pernah kita raih semuanya meluruh. Zaman baru, yang kita sebut sebagai era demokrasi itu, seperti jalan terjal untuk menuju perbaikan kualitas bangsa. Demokrasi yang membutuhkan modal manusia-manusia terdidik, mandiri, dan sadar hukum itu masih menjadi sesuatu yang dibayangkan. Belum menjadi suatu kenyataan.
Namun, pilihan demokrasi tak harus menjadi tererosi. Sekurang-kurangnya, kini politik dan informasi menjadi lebih terbuka. Para petinggi dan bangsa ini telah terbiasa menerima kritik tanpa selubung tirai. Hubungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga lebih punya dinamika. Meskipun khusus eksekutif-legislatif kadang kerap menjengkelkan.
Memang, selalu jika kita bicara indeks pembangunan manusia, kita menjadi sesak dada. Indeks itu diukur dengan mempertimbangkan empat faktor, yakni usia harapan hidup, tingkat melek huruf, tingkat partisipasi pendidikan, dan pendapatan per kapita. Dan kita sering berada di posisi belakang.
Tahun ini indeks pembangunan manusia Indonesia berada di posisi 108 dari 177 negara. Bandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara. Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina di urutan 23, 34, 61, 74, dan 84. Kita menjadi sesak dada karena lebih awal memulainya.
Harus jujur kita katakan dalam membangun kualitas manusia bangsa ini memang tidak punya komitmen jelas. Namun, ini belum kiamat. Sekarang kita harus memulainya. Sekaranglah saatnya kita mulai bicara membangun sumber daya manusia dengan harapan. Sebagai peneguh spirit, sekurang-kurangnya potensi-potensi individu kita di banyak bidang tidak mengecewakan.
Kita punya banyak anak bangsa yang berjaya di ajang Olimpiade Fisika. Kita punya banyak nama dari berbagai bidang yang berjaya kelas dunia. Namun, memang menjadi merapuh jika bicara kekuatan bangsa secara kolektif.
Sebuah bangsa memang bisa mengalami pasang surut. Namun, yang terpenting kita harus punya elan vital yang berlipat untuk selalu bangkit setiap kali kita jatuh. Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand pernah mengalami krisis moneter bersamaan dengan kita. Namun, negara-negara itu punya kemampuan untuk bangkit dan bahkan melesat.
Karena itu, di tengah berbagai upaya jangka pendek mengatasi problem ekonomi, kita tak boleh lupa untuk capaian-capaian jangka panjang dalam bidang pendidikan. Pendidikan kita harus benar-benar dibangun dengan visi dan orientasi menghasilkan manusia Indonesia unggul yang bisa memenuhi tuntutan global.
Karena itu, bidang pendidikan dari waktu ke waktu haruslah diisi orang-orang terbaik bangsa. Terlebih lagi karena pendidikan sebagai bagian dari pembentukan karakter dan bangsa. Departemen Pendidikan haruslah menjadi yang terdepan dalam hal apa pun. Sekadar contoh, harus terdepan dalam kualitas pelayanan, disiplin anggaran, dan keteladanan moral.
Dengan contoh seperti itu, publik akan percaya bahwa dunia pendidikan memang masih punya harapan untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang berkualitas. Manusia yang siap bersaing di dunia global tanpa punya rasa rendah diri.
Media Indonesia, Minggu, 19 November 2006

Menumbuhkan Heroisme Baru

Menumbuhkan Heroisme Baru

Negara tanpa pahlawan sama artinya negara tanpa kebanggaan. Jika sebuah negara tak memiliki tokoh yang bisa dibanggakan, negeri itu miskin harga diri. Ia bahkan bisa menjadi bangsa kelas teri. Karena itu, setiap negara mestinya memiliki tokoh yang disebut pahlawan.
Pahlawan menjadi penting karena ia memberi inspirasi. Inspirasi untuk selalu memperbaiki kondisi negeri. Inspirasi agar bangsa ini terus bangkit. Dan, bangsa ini sesungguhnya mempunyai amat banyak orang yang memberi inspirasi itu.
Persoalannya, apakah kita mampu ‘mengambil’ inspirasi dan kemudian secara terus-menerus mempunyai spirit untuk memperbaiki bangsa ini? Karena itu, memperingati Hari Pahlawan seperti pada hari ini merupakan saat tepat untuk evaluasi ulang pemahaman kita akan arti pahlawan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi seremoni hampa makna, tak membuat perubahan apa pun bagi negara. Negara seperti dibiarkan berjalan menuju bibir jurang.
Setiap generasi memang memiliki persoalan dan tantangannya sendiri. Dulu, musuh utama bangsa ini adalah penjajah. Heroisme untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun menjadi pekik yang tidak pernah berhenti disuarakan.
Kini, siapa yang layak menjadi musuh bangsa ini? Musuh besar kita tak lain dan tak bukan adalah korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itulah sejumlah masalah utama yang dihadapi negeri ini sekarang.
Korupsi seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Orang justru berlomba-lomba mengeruk uang negara. Dan, itu terjadi di semua level yang menyebar baik di pusat maupun di daerah. Hampir di semua jajaran, baik yudikatif, legislatif, maupun eksekutif, terjangkit penyakit korupsi kronis.
Jumlah orang miskin juga seperti tak ada habis-habisnya. Padahal, pembangunan terus dilakukan. Tentu ada yang salah atau tidak beres dalam proses pembangunan kita. Salah dalam tataran perencanaan dan implementasi. Sebab masih amat banyak yang berpikiran bahwa harta negara boleh diambil semau-maunya.
Kini bangsa ini juga mengalami problem amat serius, yakni ketidakpercayaan diri. Sebuah bangsa tanpa kepercayaan diri tidak mungkin bisa menghasilkan produk-produk unggul. Keunggulan hanya bisa diraih jika kita mempunyai kebanggaan akan bangsa dan negerinya sendiri.
Dengan inferioritas ini kita akan sulit bersaing di era global. Sebab globalisasi menuntut keunggulan. Tanpa keunggulan, kita hanya akan menjadi penonton yang bisa berteriak-teriak, tetapi tidak bisa menentukan apa-apa.
Itulah makna heroisme baru yang harus dibangun terus-menerus. Kita tidak ingin jasa para pahlawan dan nilai-nilai luhurnya hanya ada dalam ingatan, tapi terlupakan dalam tindakan.

Media Indonesia,  Jum’at, 10 November 2006

Warren Buffet : Ekonomi AS Masih Akan Berjalan Lamban, 2010 Saatnya Mulai Pulih

Saturday, August 22, 2009

Warren Buffet : Ekonomi AS Masih Akan Berjalan Lamban, 2010 Saatnya Mulai Pulih
Rabu, 19 Agustus 2009 21:30 WIB

(Vibiznews - Business) - Perkembangan ekonomi AS akhir-akhir ini rupanya masih belum menunjukan ke sebuah level dimana terciptanya kestabilan yang terlihat pada membaiknya mayoritas data-data ekonomi secara berkesinambungan. Tingkat pengangguran yang masih tinggi dan juga sektor riil yang masih belum menunjukan sebuah tingkatan dimana dapat diprediksi psotif dalam jangka waktu kedepan.

Imbas dari anjloknya perekonomian akibat krisis ekonomi berkepanjangan rupanya menghantam ekonomi AS secara telak. Hal itulah yang didasari oleh Warren Buffet, pelaku bisnis yang sangat disegani di AS dan juga mantan pemimpin perusahaan terkemuka di AS yaitu Berkshire Hathaway. Ia mengatakan bahwa peluang perekonomian AS untuk mengarah ke level yang cukup menjanjikan dan bisa dijadikan sebuah prospek yang baik.

Gelombang depresi yang membutuhkan waktu lama dalam proses pemulihan telah meyakinkan Buffet bahwa perekonomian AS masih akan terbelenggu dampak krisis sampai dengan berakhirnya tahun 2009 ini. Disisi lain, Pemerintah AS berusaha untuk terus melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang responsif dengan cara salah satunya menjaga tingkat suku bunga dan memberikan beberapa paket strategis guna sektor perbankan.

Meski secara eksplisit pengaruh dari imbas krissi ekonomi mulai berangsur-angsur pulih namun masih banyak kendala dan pekerjaan rumah yang menjadi beban besar bagi ekonomi AS. Apalagi salah satu parameter perekonomian yaitu tingkat pengangguran masih tergolong sangat tinggi yaitu sampai dengan akhir bulan Juli lalu pengangguran berada di level 9,4%. Dan setiap pekannya klaim pengangguran masih sering terjadi peningkatan.

Dilain hal, jumlah defisit perdagangan juga masih belum dapat terbendung. Sampai dengan akhir semester pertama tahun ini, jumlah defisit perdagangan tercatat mencapai 400 miliar dollar atau hampir menyamai jumlah tabungan mastarakat yang mencapai 500 miliar dollar di semester pertama lalu. Buffet berharap, guna mencegah adanya semakin besarnya defisit perdagangan, jumlah tabungan masyarakat mesti kembali digenjot ke arah yang lebih besar. Selain menguntungkan bagi negara, juga dapat memebrikan efek domino bagi sektor perbankan yang membutuhkan dana likuid agar dapat disalurkan kepada sektor riil dalam bentuk kredit usaha.

Selain itu, terciptanya sebuah sirkulasi yang positif diperkirakan dapat terjadi. Pemerintah AS dalam hal ini diperkirakan akan terus mendorong sebuah produktifitas pada sektor riil. Depertemen Keuangan AS rencananya akan masih berniat untuk kembali mengucurkan paket stimulus senilai 900 miliar dollar atau senilai dengan Rp 9000 triliun guna semakin mendorong sektor riil agar kembali ke arah yang lebih baik. Buffet melihat hal ini sangat membantu meski tidak dapat diperoleh hasil secara instant. Perkembangan sektor riil merupakan sebuah hal yang amat terkait dengan banyak faktor. Ia berharap kebijakan paket stimulus tersebut dapat bermanfaat dan dapat disetujui Dewan mengingat besarnya beban yang ditanggung oleh negara.

Buffet juga menitikberatkan kepada masih belum naik signifikan pergerakan inflasi. Ia mengangap bahwa dengan naiknya tingkat inflasi maka secara tidak langsung akan mencerminkan sebuah parameter bagi daya beli masyarakat. Dengan terus naiknya inflasi menandakan bahwa daya beli dan kesejahteraan masyarakat turt naik sehingga permintaan akan barang juga turut akan mengalai peningkatan.

Dengan melihat kondisi-kondisi yang terjadi pada saat ini, Buffet memperkirakan bahwa ekonomi AS akan mulai menunjukan pemulihan di awal tahun 2010. Ia menggarisbawahi bahwa sektor riil telah mengalami adaptasi berikut dengan sektor perbankan dimana pada semester pertama yang lalu telah menunjukan sebuah sinyal yang baik dimana perusahaan-perusahaan besar telah menunjukan hasil laporan keuangan yang positif.


(Joko Praytno/JP/vbn)
Foto-foto : www.incolo.com