Media, Teror dan Propaganda

Sunday, July 12, 2009

BERJALAN di reruntuhan gedung kembar World Trade Center setelah 11 September 2001, novelis terkemuka Tom Clancy geleng-geleng kepala. Dia dikutip mengatakan: “Empat pesawat? Jika ada novelis menulis cerita seperti itu, penerbit pasti akan mengembalikannya dan mengatakan, ‘Mustahil. Tidak bisa dipercaya’.”

Serangan 11 September bukanlah fiksi, melainkan fakta yang lebih liar dari semua imajinasi. Kejahatan yang nyata-nyata biadab. Begitu pula dengan teror bom di Bali, yang menewaskan 186 orang setahun kemudian.

Dua tragedi itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya, menjadi berita utama yang mengalir nyaris tiada henti sepanjang tahun 2002 ini. Tapi kini, sudah selayaknya para wartawan “membuat pengakuan dosa”: sebagian besar berita itu tidaklah dicapai melalui prosedur standar jurnalistik yang lazim.

Atau, setidaknya, wartawan perlu mencantumkan “disclaimer” secara lebih eksplisit: “berita-berita yang kami muat mengandung pernyataan-pernyataan sumber yang tidak sepenuhnya bisa kami verifikasi secara independen.”

Meski teror bom sudah menjadi mode di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (ada 30 kejadian pada 2000 dan 70 lagi pada 2001), teror di Bali lah yang memiliki dimensi internasional. Korbannya sebagian besar warga Australia. Para tersangka, menurut polisi, memiliki motif “membunuh orang asing sebanyak-banyaknya”. Dan anggota “Jemaah Islamiyah”–jaringan Al Qaidah cabang Indonesia–dituding sebagai pelakunya.

Mengingat kentalnya dimensi internasional, kita perlu memulai pembahasan dari Amerika. Siapa sebenarnya yang melakukan kejahatan 11 September? Bagaimana mereka melakukan itu? Dan terutama, bagaimana mereka bisa memperdaya hampir seluruh prosedur normal keamanan pemerintah?

Misteri ini belum sepenuhnya terjawab. Pemerintah Amerika sendiri baru akhir tahun ini, setahun setelah kejadian, membentuk komite independen yang bahkan seorang Henry Kissinger pun dianggap tidak layak memimpinnya. Tapi, Usamah bin Ladin dan Al Qaidah sudah terlanjur diadili “in absentia”. Itu bahkan menjadi dalih terkuat Amerika untuk menyerbu Afghanistan dan menggulung Taliban. Sebagian besar berita mereka menyangkut keterlibatan mereka dalam aksi terorisme diperoleh dari sumber resmi Pemerintah Amerika.

Dalam tragedi yang membakar emosi, para wartawan memang umumnya menemukan kendala terbesar untuk memperluas basis sumber berita demi memberikan keragamanan versi–satu langkah awal membuat verifikasi. Wartawan mudah menelan penjelasan resmi pemerintah, polisi dan badan intelejen–versi yang paling cepat dan paling mudah didapat. Dan dalam banyak kasus, itulah yang terjadi.

Namun, bahkan wartawan yang berusaha kritis hanya punya sedikit peluang membuat verifikasi independen. Sejumlah aturan baru yang diundangkan setelah 11 September mempersulit kerja mereka.

Selain nyawa ribuan orang, kebebasan sipil–tonggak demokrasi Amerika paling membanggakan–memang menjadi korban diam-diam tragedi itu. Setelah 11 September Pemerintah George W. Bush meluncurkan undang-undang baru, termasuk Patriot Act dan Homeland Security Act yang kontroversial. Undang-undang ini memungkinkan tersangka ditahan tanpa tuduhan dan tanpa pembelaan memadai. Juga memberi penyidik kewenangan luar biasa untuk menggeledah, menyadap, menginterograsi dan memata-matai aktivitas seseorang tanpa izin pengadilan.

Kantor Berita AFP belum lama ini menulis, FBI telah membuat bank data berisi informasi pribadi 10.000 orang imigran dan mahasiswa asing yang layak dicurigai Pemerintah Amerika bahkan telah menangkapi tak kurang 1.200 orang, terutama Arab dan Asia. Penangkapan dengan cara itu membuat misteri jaringan teroris kian elusif bagi wartawan.

Wartawan kian tergantung pada sumber-sumber intelejen anonim (atau dikenal dengan “intelligence chatter”), karena sulitnya mengakses para tersangka. Laporan Utama Majalah Time tentang “pengakuan” Umar Al Faruq misalnya–yang mengkaitkan “sel-sel tidur” gerakan terorisme di Indonesia dengan Al Qaidah–diperoleh sebagian besar dari sumber seperti itu.

Dalam jurnalisme, informasi dari sumber anonim dianggap paling rendah kualitasnya karena si sumber tidak harus mempertanggungjawabkan penyataannya. Sayangnya, pemakaian sumber anonim itu bahkan kini cenderung menjadi kelaziman–bukan pengecualian–di kalangan media-massa.

Jika fait-accompli saja tidak cukup, simaklah pernyataan Federasi Jurnalis Internasional pada Oktober lalu yang menuding: “Pemerintahan Bush beberapa kali mencoba menghambat dan mengontrol aliran berita.”

Dalam Perang Afghanistan, misalnya, Pentagon melarang Space Imaging, sebuah perusahaan pengideraan jarak jauh, menjual kepada media massa gambar-gambar yang diambil dari satelit sipil Ikonos. Ditambah berbagai hambatan di lapangan, pelarangan itu makin mempersulit wartawan melakukan verifikasi independen terhadap klaim Pentagon.

Padahal, episode Afghanistan ini penting. Serangan Amerika ke situ dikatakan telah sukses menggulung jaringan Al Qaidah–meski Presiden Bush jelas gagal menunaikan janji kepada publiknya untuk “menangkap bin Ladin hidup atau mati”.

Setelah hancur markasnya di Afghanistan, sisa-sisa Al Qaidah juga dikatakan menyebar ke Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai sarang utamanya. Adalah berdasar sebuah video-tape yang katanya ditemukan serdadu Amerika di Afghanistan, Pemerintah Singapura menangkapi anggota kelompok teror “Jemaah Islamiyah” dan mengkaitkannya dengan sejumlah orang di Indonesia. Tudingan tentang “Jemaah Islamiyah” telah terangkai jauh sebelum Bom Bali diledakkan.

Pelarangan dan hambatan hanya satu saja cara pengendalian informasi. Pemerintah Amerika mengkombinasikannya dengan kampanye “public relations” yang mahal.

Pada Februari lalu, media massa Amerika digemparkan oleh rencana Pentagon membuka Office of Strategic Influence–sebuah eufemisme dari “kantor propaganda”. Pentagon menyewa The Rendon Group–sebuah perusahaan humas yang sukses dalam kampanye penggulingan Manuel Noriega di Panama–untuk menyusupkan informasi palsu ke media internasional. Kantor itu gagal dibentuk menyusul protes yang luas. Tapi, John Rendon, pemimpin perusahaan itu, masih dipertahankan duduk sebagai “penasehat presiden Amerika untuk urusan terorisme”. John Rendon hadir dalam sebuah seminar tentang “terorisme dan keamanan” di Singapura Juli lalu.

Praktek buruk pemerintah Amerika dalam mengontrol pers memiliki pengaruh luas dan global. Federasi Jurnalis Internasional menyatakan khawatir melihat banyak negara–termasuk Indonesia–meniru Amerika mengadopsi undang-undang antiterorisme. “Jika perang melawan teror ingin dimenangkan,” menurut serikat jurnalis itu, “kemenangan itu bukanlah didasarkan pada strategi yang mempromosikan ketakutan, pembodohan dan intoleransi”.

Dengan ancamannya yang terkenal, “you are with us or agiants us”, Pemerintah Amerika juga sukses menekan banyak negara untuk melakukan kerjasama pertukaran data intelejen. Salah satunya dengan negara-negara Asean. Pada Agustus lalu, sebulan sebelum Bom Bali, Amerika bahkan menyetujui bantuan dana anti-terorisme ke Indonesia sebesar US$ 50 juta.

Tekanan kuat Amerika dan kerjasama yang menggiurkan itu memiliki impak serius dalam liputan berita para wartawan di mana-mana termasuk Indonesia. Sebab, sumber berita menjadi kian monolit, kendati bersifat global.

Tapi ada yang lebih mengkhawatirkan. Kerjasama itu cenderung melestarikan pelanggaran hak-hak asasi manusia di negeri otoriter seperti Singapura dan Malaysia, tempat para tersangka teror ditahan tanpa pembela, tanpa pengadilan, dan tanpa kemungkinan wartawan punya akses langsung. Di Indonesia, tempat komitmen demokrasi masih rapuh, kerjasama itu juga menjadi insentif bagi kembalinya cara-cara lama yang anti-demokratis.

Pemerintah, polisi dan intelejen Amerika, seperti dimana-mana termasuk di Indonesia, bukanlah iblis. Tapi menganggapnya sebagai malaikat–tempat kita bisa menyandarkan seluruh informasi tanpa kritis–adalah naif. Belum lagi mengingat bahwa mereka juga memiliki motif: lihatlah bagaimana mereka mencoba menangguk keuntungan politik besar-besaran dari tragedi mengerikan itu.

“Wartawan lah yang pertama harus mempertanyakan ketika para politisi membuat janji terburu-buru atas nama keamanan,” tulis Federasi Jurnalis Internasional. “Terutama ketika kemampuan kita mengumpulkan informasi, melakukan penyidikan dan bersikap independen, berada dalam posisi terancam.”

Tragedi 11 September dan Bom Bali jauh melebihi imajinasi para novelis. Dan ketika batas fiksi-realitas kian kabur, seringkali hanya waktu yang memberi kita peluang untuk melihatnya lebih jernih. Konspirasi pembunuhan John F. Kennedy pada 1963 dan penggulingan Soekarno dua tahun kemudian hanya bisa dipetakan secara lebih gamblang puluhan tahun kemudian. Sayangnya, setelah peristiwa tragis itu membawa tragedi lain: Perang Vietnam dan tampilnya rezim militeristik Orde Baru.***


http://fgaban.wordpress.com/2006/05/11/media-teror-dan-propaganda/

0 komentar: