Tangisan Untuk Puing Al-Aqsha

Sunday, July 12, 2009

Oleh Syaikh Najih Bakerot

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan symbol-simbol Islam tetap tegak dan menjadikan sekolah-sekolahnya tetap makmur. Ia akan tetap ada hingga akhir zaman bersmaan dengan orang yang berinfaq di jalanya atau memperhatikan perkembanganya. Tempat-tempat ini akan menjadi nafas bagi orang-orang shaleh diantara para umara dan penguasa. Hingga hilanglah perkampungan muslim akibat fitnah dan kelemahan atau penyakit “wahn” yang menghinggapi sebagian pemimpin muslimin yang mengakibatkan hancur luluh dan porak porandanya semua sendi-sendi islam seperti sekarang ini.

Walapun begitu, bangunan Jawaliyah merupakan salah satu symbol Aqidah Islam masih jelas terlihat bagi para pemimpin yang memahami pentingnya symbol ini.

Tempat :

Jawaliah terletak di sebelah utara Masjid Al-Aqsa yang dibatasi di bagian utara dan baratnya dengan sekolah Umar ibnu Khotob di areal lapangan dekat dengan tembok Al-Aqsha.

Pendiri

Bangunan ini didirikan oleh gubernur Ilmu Din Sanjar Jawali. Dulunya bekas rumah keluarga Bakar. Sanjar bekerja sama dengan Nasher Muhammad wali kotaGaza yang kemudian ia ditangkap dan dipenjarakan. Setela ia keluar Nasher kemudian pindah ke Kairo dam menjadi pangawas di Sekolah dan Rumah sakit Qalawan.

Setelah meninggalnya Nasher, Sanjar kemudian diutus ke Gaza mengantikan nasher menjadi hakim di Gaza dan membangun tempat ini.

Preode Pendirian

Sekolah ini didirikan pada tahun 685 H. pada zaman al-Muluk yaitu preode ketika Sanjar sebagai Hakim wilayah Palestina dan Gaza. Dibangun itu, tidak ada ukiran atau prasasti yang menandai pendirian bangunan ini. Besar kemungkinan prasasti ini sudah dihapuskan pada awal abad ke lima ketika Jawaliah mengawali renovasi pada masa kekhalifahan Utsmaniyah hingga tahun 1870.

Jawaliah masih merupakan gedung besar yang menghadap kiblat. Disampingnya terdapat dua ruangan yang mempunyai lima jendela. Selain itu di samping Jawaliah terdapat bangunan-bangunan baru seperti sekolah Umar Ibnu Khottob yang didirikan pada tahun 1923. Di sebelah utara, pada ruangan yang ketiga, terdapat lapangan yang memanjang yang merupakan tempat masuknya kaum muslimin ke al-Aqsha melalui jalan al-Saro kalau dulu, atau sekarang bernama jalan Al-Alam.

Di sana juga ada ruangan-ruangan di sebalh timur dan utaranya. Dan dibagian baratnya ada lapangan. Pada zaman penjajahan Salibis tempat ini dijadikan gereja bagi para prajurit Haikal.

Ketiga shalahuddin al-Ayubi membebaskan negeri ini dari tangan Salibis. Ia menjadikan ruangan ini sebagai kuburan pemimpin Ayubiyin.

Sekolah terbesar ini kemudian dihancurkan pada pertengahan abad dua puluh dan tidak tersisa kecuali puing-puing dan bekas bangunan yang mengelilinginya dari peninggalan Utsmaniyah.

Sekolah hari ini :

Hingga hari ini sekolah tersebut hanya tinggal dua ruangan. Di bawahnya dibangun terowongan yang digunakan Zionis Israel sebagai benteng kepolisian Israel dan tempat wisatawan manca Negara, untuk melihat secara langsung apa yang terjadi di dalam masjid Al-Aqsha

Penutup :

Kami menyerukan kepada para pengelola waqaf Islam atau kepada siapa yang berkepentingan terhadap symbol kaum muslimin saat ini untuk memperhatikan tempat tersebut. Karena saat ini tempat tersebut dijadikan pintu masuk cepat menuju al-Aqsha bagi Israel. Oleh karena itu, tempat tersebut layak mendapatkan prioritas renovasi, sebelum segala sesuatunya hilang.

Insya Allah di masa yang akan datang tempat ini akan menjadi cahaya dan sekolah yang mulia sebagaimana masa lalunya. (asy)

Komandan Lapangan Ahli Strategi, Yasir Galban

Yasir Galban merupakan sosok pemuda yang yakin akan janji Allah, seorang yang mukhlis, mujahid dan reformer. Ia telah mencapai keberhasilan dengan gemilang menggapai derajat syahid. Derajat tertingi setelah para nabi. Ditempatkan oleh Allah dalam surgaNya kekal di dalamnya.

Kelahiran dan pertumbuhanya

Al-Syahid Galban lahir pada tanggal 8 Oktober 1979. Hidup dalam keluarga yang taat agama, namun terlunta-lunta di daerah penngungsian. Nenek moyangnya berasal dari wilayah Kfar Ana wilayah jajahan Israel. Sejak kecil ia paling aktif dalam kegiatan keagamaan. ia juga terkenal ikhlas dalam setiap kegiatan. Wajahnya selalu cerah mengembang senyuman. Semua orang tentu menyukainya, teman-temanya, saudaranya dan lain sebagaianya. Yasir adalah putra terbaik Khanyunis. Salah satu kota pintu gerbang masuk Palestina yang kaya akan para pahlawanya. Ia sangat berbakti pada kedua orang tuanya, mencintai saudara dan temanya.

Pendidikanya

As-Syahid Galban mengecap pendidikan ibtidaiyah pada tahun 1985 di Madrasah Muan, lalu ke sekolah persiapan (SMP) di sekolah khusus laki-laki di Bani Suhaila. Tingkat tsanawiyahnya ia lenjutkan di Sekolah Kamal Nasher. Seleseai di Kamal Nasher ia melanjutkan di Universitas Islam fak. Syari’ah. Kuliahnya terhenti karena ditangkap serdadu Israel dan dipenjarakan selama satu tahun. Ia juga diincar oleh pembunuh bayaran pasukan penjaga keamanan di Khnayunis.

Karakter dan aktifitas dakwahnya

Sejak kecil, Galban terkenal senang melakukan aktifitas ibadah. Tempat yang paling senang ia kunjungi adalah Masjid Muin bin Zaid. Maka tak heran bila ia tumbh sebagai pemuda yang zuhud, taat ibadah dan wara. Ia tidak berbicara terhadap sesuatu kecuali bila ada nashnya dari Allah ataupun NabiNya. Ia memulai kegiatannya dengan menghapalkan al-Qur’an, menghadiri majelis ta’lim dan ibadah-ibadah lainya. Hatinya selalu terkait dengan masjid. Ia selalu menunaikan salat fardu di Masjid. Bagaimana tidak, ia seorang pionir da’wah di masjid tersebut. Ia lah penggerak hamper semua kepanitiaan masjid dimulai penggalangan dana hingga aksi social. Ia tidak membatasi hanya mengunjungi saudara-saudara dan kerabatnya saja. Bahkan ia sering mengunjungi para pemuda yang jarang atau tidap pernah kelihatan shalat atau ibadah. Yasir Galban adalah pemuda yang tidak pernah terlambat datang dalam semua kegiatan yang diadakan Gerakan Hamas. Ia selalu datang sambil membawa sejumlah pemuda lainya. Yang menjadi prioritas da’wahnya adalah mendidik genarasi muda dan mengarahkan mereka kepada jalan yang benar. Agar mereka bisa sampai pada kesuksesan. Yasir menganggap dirinya bertanggung jawab tentang maju mundurnya pemuda di kampungnya. Ia dikaruniai sipat kepemimpinan dan keberanian juga kecintaanya terhadap Kitab Allah, Al-Qur’an sebagai rujukan utamanya dalam mengarahkan para pemuda, agar menjadi genarasi Qur’ani. Ia sennatiasa mennyapa dahulu teman-temanya sebelum ia beranjak ke peraduan. Menurut adiknya, Yasir adalah pemuda yang menggapai derajat syahid yang tidak kenal lelah maupun bosan. Ia selalu menasehati dan membimbing teman-temanya. Ia bersipat penyayang pada teman-temanya, namun sangat keras pada musuh-musuh Allah dan musuh ummat manusian.

Bergabung Dengan Brigade Al-Qossam

Yasir Galban bergabung dengan Barisan Izzuddin al-Qossam ketika terjadinya Intifadhah al-Aqsha. Ia telah memilih jalan yang penuh lubang dan berduri. Jalan yang ia tempuh dihiasi dengan kesulitan dan kepayahan. Ia termasuk sabiqunal awwalun Al-Qossam, karena sipat-sipatnya yang sitimewa, sepetri kebaranian dan keteguhanya serta kemampuanya dalam perenencanaan gerakan. Sering kali ia menempuh perjalanan untuk menanam ranjau darat bagi kendaraan-kendaraan tempur Israel. Ia adalah singa di padang pasir. Dirinya tidak takut pada siapa pun kecuali pada Allah. Yang menjadi menjadi prioritasnya adalah keikhlasan, kepiawaian dan kelincahan. Ia juga terkenal sebagai perancang perjuangan Al-Qossam dan aktif di dinas militer Brigade Al-Qossam.

بيانكتائب القسام

{مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً }

Surat Keterangan Militer dari

Brigade Izzuddin Al-Qossam

Tentang Syahidnya Komandan Al-Qossam, Yasir Galban

Wahai para mujahid Palestina, wahai bangsa Arab dan ummat islam.

Dengan melalui jalan yang penuh duri bersama para kafilah da’wah, telah berpulang ke Rahmat Allah mendahului kita menyusul para pendahulunya yang telah lebih dulu mempersembahkan jiwa dan raganya dalam menolong agama Allah dan mempertahankan tanah suci Alquds serta melawan kezaliman dan mengusir musuh-musuh Allah dari Palestina. Mereka mendabakan syuhada dalam memerangi yahudi yang terus maju pantang mundur. Tentu sedikitpun tidak ada masalah, walau berbagai fitnah, ataupun luka dari siapapun.

Hari ini, al-Syahid Yasir Galban telah menghadap Allah dengan luka-luka akibat pertempuranya dengan pasukan penjaga keamanan pimpinan Abbas. . Hari ini tanggal 04 Juni 2006 komandan Al-Qossam telah mengakhiri tugas mulianya di dunia dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan dua anaknya yang masih kecil. Dialah komandan lapangan :

Yasir Ibrahim Al-Galban (26 tahun)

Warga Khanyunis

Kami atas nama Brigade Al-Qossam dengan ini menegaskan tidak akan mengizinkan siapapun menyentuh para mujahid kami. Kami berjanji akan terus melanjutkan perjuangan mengikuti jejak para pendahulu kita hingga mendapatkan dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid.

Hanya ada Jihad dan menang atau mati sayahid

Brigade Izzudin al-Qossam

Jum’at 20 Jumadil Ula 1927 H.

16 Juni 2006

Media, Teror dan Propaganda

BERJALAN di reruntuhan gedung kembar World Trade Center setelah 11 September 2001, novelis terkemuka Tom Clancy geleng-geleng kepala. Dia dikutip mengatakan: “Empat pesawat? Jika ada novelis menulis cerita seperti itu, penerbit pasti akan mengembalikannya dan mengatakan, ‘Mustahil. Tidak bisa dipercaya’.”

Serangan 11 September bukanlah fiksi, melainkan fakta yang lebih liar dari semua imajinasi. Kejahatan yang nyata-nyata biadab. Begitu pula dengan teror bom di Bali, yang menewaskan 186 orang setahun kemudian.

Dua tragedi itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya, menjadi berita utama yang mengalir nyaris tiada henti sepanjang tahun 2002 ini. Tapi kini, sudah selayaknya para wartawan “membuat pengakuan dosa”: sebagian besar berita itu tidaklah dicapai melalui prosedur standar jurnalistik yang lazim.

Atau, setidaknya, wartawan perlu mencantumkan “disclaimer” secara lebih eksplisit: “berita-berita yang kami muat mengandung pernyataan-pernyataan sumber yang tidak sepenuhnya bisa kami verifikasi secara independen.”

Meski teror bom sudah menjadi mode di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (ada 30 kejadian pada 2000 dan 70 lagi pada 2001), teror di Bali lah yang memiliki dimensi internasional. Korbannya sebagian besar warga Australia. Para tersangka, menurut polisi, memiliki motif “membunuh orang asing sebanyak-banyaknya”. Dan anggota “Jemaah Islamiyah”–jaringan Al Qaidah cabang Indonesia–dituding sebagai pelakunya.

Mengingat kentalnya dimensi internasional, kita perlu memulai pembahasan dari Amerika. Siapa sebenarnya yang melakukan kejahatan 11 September? Bagaimana mereka melakukan itu? Dan terutama, bagaimana mereka bisa memperdaya hampir seluruh prosedur normal keamanan pemerintah?

Misteri ini belum sepenuhnya terjawab. Pemerintah Amerika sendiri baru akhir tahun ini, setahun setelah kejadian, membentuk komite independen yang bahkan seorang Henry Kissinger pun dianggap tidak layak memimpinnya. Tapi, Usamah bin Ladin dan Al Qaidah sudah terlanjur diadili “in absentia”. Itu bahkan menjadi dalih terkuat Amerika untuk menyerbu Afghanistan dan menggulung Taliban. Sebagian besar berita mereka menyangkut keterlibatan mereka dalam aksi terorisme diperoleh dari sumber resmi Pemerintah Amerika.

Dalam tragedi yang membakar emosi, para wartawan memang umumnya menemukan kendala terbesar untuk memperluas basis sumber berita demi memberikan keragamanan versi–satu langkah awal membuat verifikasi. Wartawan mudah menelan penjelasan resmi pemerintah, polisi dan badan intelejen–versi yang paling cepat dan paling mudah didapat. Dan dalam banyak kasus, itulah yang terjadi.

Namun, bahkan wartawan yang berusaha kritis hanya punya sedikit peluang membuat verifikasi independen. Sejumlah aturan baru yang diundangkan setelah 11 September mempersulit kerja mereka.

Selain nyawa ribuan orang, kebebasan sipil–tonggak demokrasi Amerika paling membanggakan–memang menjadi korban diam-diam tragedi itu. Setelah 11 September Pemerintah George W. Bush meluncurkan undang-undang baru, termasuk Patriot Act dan Homeland Security Act yang kontroversial. Undang-undang ini memungkinkan tersangka ditahan tanpa tuduhan dan tanpa pembelaan memadai. Juga memberi penyidik kewenangan luar biasa untuk menggeledah, menyadap, menginterograsi dan memata-matai aktivitas seseorang tanpa izin pengadilan.

Kantor Berita AFP belum lama ini menulis, FBI telah membuat bank data berisi informasi pribadi 10.000 orang imigran dan mahasiswa asing yang layak dicurigai Pemerintah Amerika bahkan telah menangkapi tak kurang 1.200 orang, terutama Arab dan Asia. Penangkapan dengan cara itu membuat misteri jaringan teroris kian elusif bagi wartawan.

Wartawan kian tergantung pada sumber-sumber intelejen anonim (atau dikenal dengan “intelligence chatter”), karena sulitnya mengakses para tersangka. Laporan Utama Majalah Time tentang “pengakuan” Umar Al Faruq misalnya–yang mengkaitkan “sel-sel tidur” gerakan terorisme di Indonesia dengan Al Qaidah–diperoleh sebagian besar dari sumber seperti itu.

Dalam jurnalisme, informasi dari sumber anonim dianggap paling rendah kualitasnya karena si sumber tidak harus mempertanggungjawabkan penyataannya. Sayangnya, pemakaian sumber anonim itu bahkan kini cenderung menjadi kelaziman–bukan pengecualian–di kalangan media-massa.

Jika fait-accompli saja tidak cukup, simaklah pernyataan Federasi Jurnalis Internasional pada Oktober lalu yang menuding: “Pemerintahan Bush beberapa kali mencoba menghambat dan mengontrol aliran berita.”

Dalam Perang Afghanistan, misalnya, Pentagon melarang Space Imaging, sebuah perusahaan pengideraan jarak jauh, menjual kepada media massa gambar-gambar yang diambil dari satelit sipil Ikonos. Ditambah berbagai hambatan di lapangan, pelarangan itu makin mempersulit wartawan melakukan verifikasi independen terhadap klaim Pentagon.

Padahal, episode Afghanistan ini penting. Serangan Amerika ke situ dikatakan telah sukses menggulung jaringan Al Qaidah–meski Presiden Bush jelas gagal menunaikan janji kepada publiknya untuk “menangkap bin Ladin hidup atau mati”.

Setelah hancur markasnya di Afghanistan, sisa-sisa Al Qaidah juga dikatakan menyebar ke Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai sarang utamanya. Adalah berdasar sebuah video-tape yang katanya ditemukan serdadu Amerika di Afghanistan, Pemerintah Singapura menangkapi anggota kelompok teror “Jemaah Islamiyah” dan mengkaitkannya dengan sejumlah orang di Indonesia. Tudingan tentang “Jemaah Islamiyah” telah terangkai jauh sebelum Bom Bali diledakkan.

Pelarangan dan hambatan hanya satu saja cara pengendalian informasi. Pemerintah Amerika mengkombinasikannya dengan kampanye “public relations” yang mahal.

Pada Februari lalu, media massa Amerika digemparkan oleh rencana Pentagon membuka Office of Strategic Influence–sebuah eufemisme dari “kantor propaganda”. Pentagon menyewa The Rendon Group–sebuah perusahaan humas yang sukses dalam kampanye penggulingan Manuel Noriega di Panama–untuk menyusupkan informasi palsu ke media internasional. Kantor itu gagal dibentuk menyusul protes yang luas. Tapi, John Rendon, pemimpin perusahaan itu, masih dipertahankan duduk sebagai “penasehat presiden Amerika untuk urusan terorisme”. John Rendon hadir dalam sebuah seminar tentang “terorisme dan keamanan” di Singapura Juli lalu.

Praktek buruk pemerintah Amerika dalam mengontrol pers memiliki pengaruh luas dan global. Federasi Jurnalis Internasional menyatakan khawatir melihat banyak negara–termasuk Indonesia–meniru Amerika mengadopsi undang-undang antiterorisme. “Jika perang melawan teror ingin dimenangkan,” menurut serikat jurnalis itu, “kemenangan itu bukanlah didasarkan pada strategi yang mempromosikan ketakutan, pembodohan dan intoleransi”.

Dengan ancamannya yang terkenal, “you are with us or agiants us”, Pemerintah Amerika juga sukses menekan banyak negara untuk melakukan kerjasama pertukaran data intelejen. Salah satunya dengan negara-negara Asean. Pada Agustus lalu, sebulan sebelum Bom Bali, Amerika bahkan menyetujui bantuan dana anti-terorisme ke Indonesia sebesar US$ 50 juta.

Tekanan kuat Amerika dan kerjasama yang menggiurkan itu memiliki impak serius dalam liputan berita para wartawan di mana-mana termasuk Indonesia. Sebab, sumber berita menjadi kian monolit, kendati bersifat global.

Tapi ada yang lebih mengkhawatirkan. Kerjasama itu cenderung melestarikan pelanggaran hak-hak asasi manusia di negeri otoriter seperti Singapura dan Malaysia, tempat para tersangka teror ditahan tanpa pembela, tanpa pengadilan, dan tanpa kemungkinan wartawan punya akses langsung. Di Indonesia, tempat komitmen demokrasi masih rapuh, kerjasama itu juga menjadi insentif bagi kembalinya cara-cara lama yang anti-demokratis.

Pemerintah, polisi dan intelejen Amerika, seperti dimana-mana termasuk di Indonesia, bukanlah iblis. Tapi menganggapnya sebagai malaikat–tempat kita bisa menyandarkan seluruh informasi tanpa kritis–adalah naif. Belum lagi mengingat bahwa mereka juga memiliki motif: lihatlah bagaimana mereka mencoba menangguk keuntungan politik besar-besaran dari tragedi mengerikan itu.

“Wartawan lah yang pertama harus mempertanyakan ketika para politisi membuat janji terburu-buru atas nama keamanan,” tulis Federasi Jurnalis Internasional. “Terutama ketika kemampuan kita mengumpulkan informasi, melakukan penyidikan dan bersikap independen, berada dalam posisi terancam.”

Tragedi 11 September dan Bom Bali jauh melebihi imajinasi para novelis. Dan ketika batas fiksi-realitas kian kabur, seringkali hanya waktu yang memberi kita peluang untuk melihatnya lebih jernih. Konspirasi pembunuhan John F. Kennedy pada 1963 dan penggulingan Soekarno dua tahun kemudian hanya bisa dipetakan secara lebih gamblang puluhan tahun kemudian. Sayangnya, setelah peristiwa tragis itu membawa tragedi lain: Perang Vietnam dan tampilnya rezim militeristik Orde Baru.***


http://fgaban.wordpress.com/2006/05/11/media-teror-dan-propaganda/